Bungkus dan Kretek: Selintas Tradisi dan Budaya Tembakau di Nusantara
Bungkus dan Kretek: Selintas Tradisi dan Budaya Tembakau di Nusantara
Nicotiana tabacum adalah nama latin tanaman yang diduga berasal dari benua Amerika bagian Selatan maupun Utara, dan orang Indonesia menyebutnya tembakau. Sejarah persebaran tembakau di dunia, dimulai ketika penjelajah Cristopher Columbus mendarat di San Salvador. Oleh penduduk asli pulau tersebut, sang penjelajah dihadiahi daun tembakau kering. Akhirnya hadiah tersebut dibuang begitu saja karena tidak bisa dimakan. Saat melanjutkan penjelajahan, mereka menemukan bahwa daun kering tembakau oleh penduduk asli Amerika dimanfaatkan dengan cara dibakar dan asapnya dihirup. Akhirnya daun tembakau kering dibawa sebagai komoditas komersil di kota-kota pelabuhan Spanyol dan Portugis.
Oleh: Rohmansyah W. Nurindra
Bungkus dan Kretek: Selintas Tradisi dan Budaya Tembakau di Nusantara
Nicotiana tabacum adalah nama latin tanaman yang diduga berasal dari benua Amerika bagian Selatan maupun Utara, dan orang Indonesia menyebutnya tembakau. Sejarah persebaran tembakau di dunia, dimulai ketika penjelajah Cristopher Columbus mendarat di San Salvador.
Oleh penduduk asli pulau tersebut, sang penjelajah dihadiahi daun tembakau kering. Akhirnya hadiah tersebut dibuang begitu saja karena tidak bisa dimakan. Saat melanjutkan penjelajahan, mereka menemukan bahwa daun kering tembakau oleh penduduk asli Amerika dimanfaatkan dengan cara dibakar dan asapnya dihirup. Akhirnya daun tembakau kering dibawa sebagai komoditas komersil di kota-kota pelabuhan Spanyol dan Portugis.
Tembakau dibawa masuk ke Indonesia oleh para pelaku Kolonialisme Barat sekira abad ke-17. Permintaan pasar dunia akan tembakau yang terus meningkat menjadikan pada tahun 1840, Van den Bosch selaku Gubernur VOC, memberlakukan kultur stelsel dan menempatkan tembakau sebagai salah saatu komoditas di Hindia Belanda.
Hal ini dilakukan terutama untuk membayar hutang negaranya yang timbul akibat membiayai perang. Tanaman ini kemudian dibudidayakan di perkebunan-perkebunan skala besar dan tumbuh subur selama beratus tahun sampai sekarang. Kesuburan tanah Indonesia menjadikan tembakau tumbuh dengan kualitas yang dihasilkan tidak kalah dengan negara asal dari tanaman ini.
Bungkus dan Kretek: Selintas Tradisi dan Budaya Tembakau di Nusantara
Sebenarnya masyarakat nusantara sudah mengenal tembakau dan rokok jauh sebelum muncul VOC. Buktinya terukir pada relief Candi Borobudur (abad 8) dan Candi Sojiwan (abad 9). Relief tersebut memperlihatkan tempat sirih dan orang yang sedang mengunyah sirih dimana pada kegiatan menyirih, tembakau merupakan bahan komplemen atau pengganti.
Waktu berlanjut dan kemudian mengunyah tembakau menjadi kebiasaan masyarakat. Mengenai kapan masyarakat nusantara mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar, tidak diketahui secara pasti.
Informasi lain dapat diketahui dari karya sastra lama nusantara, folklore-folklore, dan ritual adat di masyarakat. Tampak bahwa tembakau dan rokok sudah ada lama dikenal di nusantara. Babad ing Sengkala (1602) mencatatkan lintingan tembakau yang dibakar mulai digemari di Jawa ketika Panembahan Senopati wafat tahun 1601.
Babad ini salah satu liriknya tertulis “kala seda Panembahan Syargi, ing Kajenar pan anunggal warsa, purwa sata sawiyose, mlaning wong ngaudud” (waktu panembahan wafat, di gedung kuning tempatnya, bersamaan tahun di mana tembakau muncul, setelahnya orang mulai merokok).2
Menurut catatan de Haen yang datang ke Jawa periode 1622-1623, Raja Sultan Agung di Mataram (Islam) sudah mencandu rokok. Hal ini terlihat dari kebiasaan Raja ketika memeriksa barisan prajurit yang dilakukan sambil menghisap kretek dan menimbulkan asap pekat. Aktivitas menghisap kretek ini kemudian ditiru oleh kaum bangsawan saat itu.
Bungkus dan Kretek: Selintas Tradisi dan Budaya Tembakau di Nusantara
Bukti lain bahwa rokok juga sudah “merakyat” di nusantara adalah pada folklore-folklore. Pada cerita“Rara Mendut Pranacitra”, diceritakan bahwa rokok sudah menjadi barang dagangan sehari-hari. Folklore ini mengambil konteks pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I yang adalah anak dari Sultan Agung.
Folklore ini sering dilakonkan pada pagelaran-pagelaran ketoprak. Pada Serat Centhini (ditulis 1814-1823) ditemukan kata “ngaudut”, “eses” atau “ses” sebagai istilah yang umum digunakan pada bahasa Jawa yang menjelaskan tentang mengkonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Pada masyarakat Madura malah dikenal folklore yang khusus mengisahkan sejarah tembakau dengan tokoh seseorang yang disebut Pangeran Katandur.
Nama ini diberikan kepada Habib Ahmad Baidlowi yang dianggap sebagai orang yang mengenalkan pertama kali (cikal-bakal) tanaman tembakau di Madura.2 Kata ”katandur” sendiri dalam bahasa madura artinya adalah menanam.
Selanjutnya budaya tembakau juga dikenal pada praktek-praktek ritual masyarakat adat di Indonesia. Seperti masyarakat yang berada di sekitar lereng gunung Sumbing-Sindoro-Prau, mengenal dan mempraktekkan ritual terkait tembakau yaitu among tebal.
Bungkus dan Kretek: Selintas Tradisi dan Budaya Tembakau di Nusantara
Ritual ini adalah salah satu dari rangkaian empat ritual terkait tembakau yang dilakukan pada penanaman bibit tembakau. Ritual ini dilakukan sebagai penghormatan pada Ki Ageng Makukuhan yang dianggap orang suci dan sebagai orang pertama yang memperkenalkan tembakau.
Istilah “mbako” pada bahasa Jawa dianggap bermula dari ucapan Ki Ageng Makukuhan yaitu “ iki tambaku” ketika mengobati orang sakit dan sembuh seketika. Begitu pula pada masyarakat adat lain seperti Kasepuhan Ciptagelar di Banten dan masyarakat Bayan (Watu Telu) di Nusa Tenggara Barat.
Pada awalnya istilah rokok tidak dikenal di nusantara. Menurut Hanusz, Orang Jawa dan Melayu menyebut rokok dengan bungkus.3 Ini lantaran proses membuatnya yang membungkus rajangan tembakau dengan menggunakan kulit jagung, daun pisang, atau nipah. Istilah rokok sendiri berasal dari serapan bahasa Belanda yaitu “ro’ken”, yang asalnya digunakan untuk menyebut orang yang menghisap pipa (tembakau) dan cerutu.
Pingback: Daftar Artikel Kesehatan - Inspirasi Sanitarian