Dasar KeslingInspirasi SanitarianJurnal Kesehatan LingkunganLingkungan Fisik

Teater Hijau dalam Panggung Pembangunan

Apakah kita akan terus menjadi Sisifus modern, yang mendorong batu pembangunan ke atas bukit dengan retorika keberlanjutan, hanya untuk melihatnya jatuh kembali karena fondasi ekologisnya rapuh?

Arda Dinata, Sanitarian dan anggota PP Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI)

Bayangkan Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk menggulung batu besar ke puncak bukit, hanya untuk melihatnya kembali menggelinding ke bawah, berulang tanpa henti. Bukankah retorika pembangunan berkelanjutan kita saat ini mirip dengan kisah tragis tersebut? Kita berbicara tentang kelestarian alam, memproduksi regulasi hijau, mengucurkan dana milyaran rupiah untuk program konservasi, namun pada saat yang sama, bulldozer pembangunan terus menggilas kanopi hutan, excavator terus mengeruk perut bumi, dan pabrik-pabrik terus memuntahkan limbah ke sungai-sungai kita.

Pertunjukan keberlanjutan ekologi dalam panggung pembangunan nasional telah menjadi teater absurd yang memikat. Para aktor—pemerintah dan korporasi—mengenakan kostum hijau, sementara naskah yang dibacakan adalah mantra pembangunan yang tak lekang oleh waktu: “pertumbuhan ekonomi”, “daya saing global”, dan “kesejahteraan rakyat”. Penonton, yaitu publik, bertepuk tangan riuh saat jargon keberlanjutan dikumandangkan, tanpa menyadari bahwa di balik layar, hutan kita terus menjerit, sungai kita terus merintih, dan udara kita terus terbatuk.

Fenomena greenwashing dalam kebijakan pembangunan nasional telah menjadi ironi kontemporer yang memprihatinkan. Dokumen perencanaan pembangunan nasional kita, mulai dari RPJPN hingga RPJMN, selalu menyertakan narasi keberlanjutan ekologi sebagai landasan filosofis. Bahkan, Indonesia telah berkomitmen pada 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan mendeklarasikan target net zero emission pada 2060. Legitimasi pembangunan kita dibalut dengan retorika hijau yang menawan, namun implementasinya acapkali terdistorsi oleh pragmatisme ekonomi dan kebutuhan politik jangka pendek.

Narasi keberlanjutan ekologi kita mengalami kerapuhan struktural yang akut. Di satu sisi, kita berteriak lantang tentang krisis iklim di forum-forum internasional, namun di sisi lain, izin pertambangan dan perkebunan skala besar terus dikeluarkan tanpa kajian lingkungan yang komprehensif. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 6,5 juta hektar hutan antara 2000-2019, sementara pada periode yang sama, kita merayakan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan investasi. Paradoks ini menunjukkan adanya disonansi kognitif dalam perencanaan pembangunan kita.

Michel Foucault, filsuf Prancis, pernah mengungkapkan bahwa kekuasaan bekerja melalui produksi pengetahuan dan wacana. Dalam konteks keberlanjutan ekologi, pemerintah dan korporasi telah berhasil memproduksi wacana “pembangunan hijau” yang diinternalisasi oleh publik. Namun, wacana ini seringkali berfungsi sebagai mekanisme legitimasi bagi eksploitasi yang berkelanjutan terhadap alam. Kita dibuai oleh fantasi politik tentang industrialisasi yang berwawasan lingkungan, sementara faktanya, model ekonomi ekstraktif terus menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.

Kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja, misalnya, telah mereduksi sejumlah regulasi lingkungan demi kemudahan investasi. Penyederhanaan proses AMDAL dan penghapusan beberapa ketentuan dalam UU Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa diskursus pembangunan kita masih dihegemoni oleh paradigma ekonomi neoklasik yang melihat alam sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi untuk pertumbuhan ekonomi. Terjadi deligitimasi terhadap nilai-nilai ekologis dalam ruang kebijakan, dimana pertimbangan lingkungan dianggap sebagai “hambatan birokrasi” yang harus disingkirkan.

admin

www.insanitarian.com adalah Situs Nasional Seputar Dunia Kesehatan, Hygiene, Sanitasi, dan Kesehatan Lingkungan (Sumber Inspirasi & Referensi Dunia Kesehatan, Sanitasi Lingkungan, Entomologi, Mikrobiologi Kesehatan, dll.) yang dikelola secara profesional oleh Arda Publishing House. Redaksi dengan senang hati menerima kiriman tulisan ilmiah dengan gaya penulisan secara populer. Panjang tulisan antara 8.000 -10.000 karakter.

error: