Bakteri, Biang Keladi Keracunan Makanan
Bakteri, biang keladi keracunan makanan. berdasarkan data pemberitaan berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, selama tiga tahun ke belakang pernah terjadi kasus keracunan makanan yang terjadi di beberapa kota. Sebut saja kasus keracunan makanan yang dialami karyawan pabrik di Kota Jakarta, Bogor, Kendari, Bekasi, dan keracunan pada anak sekolah di Kota Bandung, dll.
Oleh: Arda Dinata
In SANITARIAN – Kalau diteliti, secara umum keracunan makanan dapat terjadi apabila di dalam makanan terdapat racun (toksin), baik kimiawi maupun intoksikasi. Sumbernya beragam. Bisa dari racun jaringan tanaman, racun jaringan hewan, dan racun dari mikroorganisme.
Jelasnya, keracunan makanan dapat disebabkan oleh adanya racun dari mikroorganisme yang mengontaminasi makanan, racun alamiah yang terdapat dalam jaringan hewan atau tanaman, dan dari bahan kimia beracun yang terdapat dalam makanan. Berikut ini adalah beberapa bakteri yang menyebabkan terjadinya keracunan makanan dan minuman.
Pertama, Clostridium botulinum. Bakteri ini bertanggung jawab pada timbulnya keracunan makanan yang sering disebut botulism (botulin). Racun bakteri ini sangat berbahaya dan berakibat fatal bila terkonsumsi manusia. Sebagai gambaran, hanya dengan satu sendok teh (sekira 4 gram) racun botulin murni dapat menyebabkan kematian bagi 400.000-500.000 orang (Cichy, 1984). Dikatakan berakibat fatal karena kandungan toksinnya dapat menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot tak sadar.
Bakteri Clostridium botulinum merupakan bakteri yang berbentuk batang. Bakteri ini juga dapat membentuk spora dan ia sangat tahan terhadap panas. Bakteri ini tersebar luas dalam tanah, air yang terkontaminasi, debu, buah-buhan, sayuran, madu, dan lainnya. Perkembangbiakan bakteri ini sangat pesat pada suhu sedang (kondisi anaerob), seperti pada makanan kaleng yang proses pemanasannya tidak memadai. Bahayanya lagi, pada kondisi kedap udara, bakteri ini dapat membentuk gas.
Adapun gelaja-gejala awal keracunan bakteri Clostridium botulinum adalah gangguan pencernaan akut, mual, muntah, diare, demam, pusing, mulut terasa kering, lemah fisik dan mental (falig). Kondisi ini bisa berlanjut berupa pandangan menjadi kabur, sulit menelan dan berbicara, kelumpuhan otot yang kemudian menyebar pada sistem pernapasan dan jantung, serta bisa menyebabkan kematian akibat kesulitan bernapas.
Waktu inkubasinya antara 2 jam sampai 14 hari, dan umumnya antara 12-36 jam. Untuk menghambat pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum, bisa dilakukan dengan penambahan garam pada makanan sebesar 8 persen. Atau bisa juga dengan penyimpanan makanan pada suhu rendah.
Selain itu, produksi toksin dan pertumbuhan bakteri ini dapat terhambat bila pH makanan lebih rendah dari 4,5. Selanjutnya, meskipun bakteri ini tahan panas, tetapi toksin yang dihasilkannya akan rusak selama proses pemanasan. Artinya, proses pemanasan makanan sebelum dikonsumsi merupakan tindakan pencegahan utama terhadap keracunan botulism.
Kedua, Pseudomonas cocovenenans. Bakteri ini sering mengontaminasi proses fermentasi tempe bongkrek. Tempe bongkrek adalah jenis makanan tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dasar ampas kelapa dan difermentasi oleh jamur tempe (Rhizopus oligosporus).
Bakteri Pseudomonas ini dapat menghasilkan dua jenis racun yang mematikan manusia, yaitu toksoflavin dan asam bongkrek. Bagi mereka yang ‘mengonsumsi’ toksin pada dosis tinggi dapat menyebabkan kematian dalam waktu kurang dari empat hari setelah mengonsumsi racun tersebut.
Pertumbuhan Pseudomonas sebenarnya dapat dihambat, yaitu dengan menurunkan pH ampas kelapa yang akan difermentasi sampai 5,5. Pada pH ini jamur tempe yang diinginkan pun masih tetap dapat tumbuh dengan baik, sedangkan bakterinya akan terhambat.
Ketiga, Staphylococcus aureus. Bakteri ini banyak ditemukan pada tubuh manusia, seperti di ingus, dahak, tangan, kulit, luka terinfeksi, bisul dan jerawat, serta pada feses dan rambut. Lebih jauh, keberadaan bakteri ini, justru diperkirakan terdapat pada 20 persen orang dengan kondisi kesehatan yang tampaknya baik.
Sementara itu, makanan dapat terkontaminasi bakteri Staphylococcus ini adalah setelah proses pemasakan, dari pekerja yang terinfeksi. Adapun jenis makanan yang dapat menjadi sumber infeksi adalah makanan hasil olahan daging/unggas, ham, krim, susu, keju, saus, kentang, ikan dan telur masak, serta makanan dengan kandungaan protein yang tinggi lainnya.
Secara umum, bakteri ini tidak tahan panas. Namun, racun yang dihasilkannya sangat tahan panas, sehingga tidak dapat dihancurkan dengan pemanasan yang biasa digunakan pada pemasakan. Bahayanya, racun tersebut biasanya tidak menyebabkan perubahan tekstur, warna, bau, kenampakan, ataupun perubahan rasa makanan, sehingga tidak dapat terlihat secara fisik. Kondisi seperti inilah yang sering kali mengecohkan konsumen.