Info KesehatanOpini

Puasa, Nafsu, dan Menguatkan Jiwa Manusia

Apa hubungan puasa, nafsu, dan menguatkan jiwa manusia?

Salah satu rahasia yang bisa direngkuh oleh seseorang apabila ia melaksanakan ibadah puasa (terutama di bulan Ramadan), adalah untuk menguatkan jiwa. Dalam hidup ini tak sedikit kerja manusia didominasi justru oleh hawa nafsunya. Oleh karena itu dalam Islam dianjurkan untuk mengendalikan hawa nafsu tersebut. Lewat ibadah puasa di bulan Ramadan ini, jiwa seorang muslim akan dikuatkan-Nya.

(Dr Yusuf Qardhawi).

In SANITARIAN Inilah potret dari puasa, nafsu, dan menguatkan jiwa manusia. Realitas kehidupan modern saat ini telah membawa makin banyaknya masalah yang memerlukan adaptasi, yang mekanismenya mungkin masih sama dengan mekanisme adaptasi manusia di zaman purbakala berupa fight or flight mechanism; yang tidak lagi selalu cocok dengan situasi masyarakat saat ini. Sehingga hal tersebut akan menambah stres dan menimbulkan berbagai reaksi tubuh/fisik. Inilah fakta rapuhnya jiwa manusia yang terjadi belakangan ini.

Dengan kemajuan zaman, problem-problem pribadi dan sosial dalam kehidupan manusia bukannya berkurang, tapi sebaliknya justru bertambah sehingga mengganggunya untuk mencapai kebahagiaan hidup yang diidam-idamkan. Pergolakan ekonomi, perilaku anti sosial (perampokan, penganiayaan, perkosaan, dan sebagainya), ketidakserasian penerapan hukum dan peraturan, hidup berkeluarga yang bermasalah (percekcokan, perceraian, kekerasan dalam keluarga, hidup bersama tanpa nikah, dan sejenisnya) semuanya menambah disilusi (kekecewaan yang mendalam), kesulitan atau ketidakmampuan untuk menegakkan nilai-nilai sosial kultural dan melaksanakan program yang berorientasi filsafat sosial, semuanya secara bertumpuk-tumpuk memicu konflik dan stres.

Menurut Kusumanto Setyonegoro, ketua yayasan kesehatan jiwa Dharmawangsa Jakarta, situasi seperti itu tentu akan mengakibatkan kondisi maladjustment (keadaan ketidaksesuaian diri dengan lingkungan), yang dinyatakan secara jasmaniah (seperti kondisi sakit atau kurang sehat hingga terpaksa tidak masuk bekerja atau bekerja tidak efektif) atau melahirkan perilaku menyimpang; kepribadian yang “agak aneh” hingga kurang diterima oleh lingkungan karena dinilai “kurang wajar”.

BACA JUGA:  Ketrampilan Bagi Sanitarian

Lebih jauh dijelaskan Kusumanto, realitanya dapat disaksikan orang-orang yang “pusing”, ”bingung” dan “bengong” menghadapi situasi yang menegangkan. Banyak di antara mereka jelas menyatakan dirinya tidak berbahagia, terpaksa hidup terus walaupun tidak melihat masa depan yang cerah; mereka kehilangan kekuatan mental emosionalnya untuk hidup tenteram, damai dan sejahtera cukup banyak orang yang mengalami dan memperlihatkan penyesuaian diri secara pribadi maupun sosial yang “kurang pantas” dan “kurang berkenan” terhadap orang lain. Mereka yang tergolong berkelakuan tidak efisien atau “kurang wajar” tersebut, mungkin tidak perlu dirawat, tetapi jelas memerlukan bimbingan mental sehingga dapat dikembalikan ke garis kehidupan yang “lebih normal” dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Salah satu media dan sarana untuk membangun jiwa yang rapuh (baca: pengendalian hawa nafsu) tersebut adalah melalui ritual dan aktivitas spritualitas ibadah puasa di bulan Ramadan. Inilah makna dari puasa, nafsu, dan menguatkan jiwa manusia itu. Mengapa?

Menurut Dr Yusuf Qardhawi, salah satu rahasia yang bisa direngkuh oleh seseorang apabila ia melaksanakan ibadah puasa (terutama di bulan Ramadan), adalah untuk menguatkan jiwa. Dalam hidup ini tak sedikit kerja manusia didominasi justru oleh hawa nafsunya. Oleh karena itu dalam Islam dianjurkan untuk mengendalikan hawa nafsu tersebut. Lewat ibadah puasa di bulan Ramadan ini, jiwa seorang muslim akan dikuatkan-Nya. Dalam kata lain, di sana terdapat hubungan antara puasa, nafsu, dan menguatkan jiwa manusia.

Sementara itu, nafsu diartikan sebagai keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yang kuat berupa dorongan batin untuk berbuat yang kurang baik; kemarahan; kepanasan hati. Di sini, seakan-akan kata nafsu selalu menggiring alam pikiran kita kepada konotasi yang rendah, primitif, dan negatif. Apakah hal ini memang benar seperti itu? Lalu, bagaimana konsep nafsu menurut ajaran Islam?

BACA JUGA:  Peran SDM Kesehatan dalam Menerapkan Kawasan Tanpa Rokok

Dalam beberapa ayat Alquran (al Nisa’: 135; Shaad: 26; al Najm: 3; al Naazi’aat: 40; al A’raf: 176; al Kahf:: 28; Thaaha: 16; al Furqaan: 43; al Qashash: 50; al Jaatsiyah: 23), ternyata kesemua kata al hawaa (hawa nafsu) mengandung pengertian tentang sesuatu hal yang cenderung menguasai, memperbudak, melanggar batas, berbuat tidak bermoral, mencari kenikmatan sesaat dan mengakibatkan penyesalan.

Hawa nafsu memang diakui selalu mengajak kepada sesuatu yang dianggap nyaman dan nikmat, maksiat, kesia-siaan dan condong untuk memuaskan diri pada kehidupan duniawi. Tetapi, yang jelas, Allah SWT tidak pernah menjadikan sesuatu itu secara sia-sia. Begitu juga dengan hawa nafsu, sekalipun hawa nafsu ini selalu mengajak manusia kepada perbuatan amoral, namun dia merupakan satu-satunya perangkat bagi manusia dalam melangsungkan hidupnya di dunia ini (baca: nafsu makan, minum, seksual, dll). Dan Allah sendiri selalu menekankan terhadap manusia agar takut kepada-Nya dan tidak memperturutkan hawa nafsu. Dua posisi inilah yang akan menghadapkan manusia pada ujian dan tantangan yang harus dihadapinya di dunia.

Jenis nafsu

Dalam Alquran Allah SWT telah menjelaskan tentang jenis-jenis nafsu yang dimiliki manusia, yaitu Muthmainnah, Lawwamah dan Ammarah Bissu’.

Pertama, nafsu Muthmainnah.

Nafsu ini tenang pada suatu hal dan jauh dari keguncangan yang disebabkan oleh bermacam-macam tantangan dan dari bisikan syaitan. Apabila nafsu tenang bersama Allah, tentram ketika mengingat-Nya, selalu merindukan-Nya dan senang ada di dekat-Nya, itulah nafsu Muthmainnah. Dialah nafsu yang di saat ajal menjelang, akan dikatakan kepadanya: “Hai nafsu (jiwa) yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30).

BACA JUGA:  Dasar Pertimbangan Pengolahan Air Limbah

Untuk itu, jangan dibiarkan nafsu yang selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang mendapat rahmat dari Allah (baca: QS. 12: 53). Agar nafsu itu mendapat rahmat Allah, maka manusia harus beristiqamah/ berteguh pendirian terhadap Allah (baca: QS. 41: 30), selalu ikhlas dalam setiap amal dan selalu ingat bahwa diri ini akan kembali kepada-Nya (baca: QS. 23: 57-61), selalu beriman dan bertaqwa agar mendapat ketenangan dan kebahagiaan hidup (baca: QS. 10: 62-64).

Arda Dinata

*Arda Dinata, adalah kolomnis tetap di Sanitarian Indonesia (http://insanitarian.com). Aktivitas hariannya sebagai peneliti, sanitarian, dan penanggungjawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, tinggal di Pangandaran.

Tinggalkan Balasan

error: