Masker dan Penyebaran Tetesan Batuk di Udara
Masker dan penyebaran tetesan batuk di udara merupakan hal yang patut dipahami dalam usaha memutuskan penyebaran penyakit menular, termasuk Covid-19. Artinya, walau pemerintah telah longgarkan kebijakan pemakaian masker bagi masyarakat. Namun, setiap kita patut memahami keberadaan masker dan penyebaran tetesan batuk di udara.
– Arda Dinata
Oleh: Arda Dinata
In SANITARIAN – Pemerintah, lewat Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, tertanggal 17 Mei 2022 memutuskan untuk melonggarkan kebijakan pemakaian masker bagi masyarakat yang beraktivitas di luar ruangan atau area terbuka. Kebijakan itu diambil atas dasar memperhatikan kondisi penangan pandemi Covid-19 di Indonesia, saat ini makin terkendali.
“Pemerintah memutuskan untuk melonggarkan kebijakan pemakian masker. Jika masyarakat sedang beraktivitas di luar ruangan atau di area terbuka yang tidak padat orang, maka diperbolehkan untuk tidak menggunakan masker. Namun, untuk kegiatan di ruangan tertutup dan transportasi publik, tetap harus menggunakan masker,”ujar Presiden Joko Widodo dalam keterangannya di Istana Kepresidenan Bogor, pada Selasa, 17 Mei 2022.
Sementera itu, bagi masyarakat yang masuk kategori rentan, lansia, atau memiliki penyakit komorbid, Presiden Jokowi tetap menyarankan untuk menggunakan masker saat beraktivitas. “Demikian juga bagi masyarakat yang mengalami gejala batuk dan pilek, maka tetap harus menggunakan masker ketika melakukan aktivitas,”tambah Presiden.
Penggunaan Masker
Pandemi penyakit coronavirus (COVID-19) menunjukkan pentingnya penelitian dalam memahami penularan penyakit untuk membatasi penyebaran patogen menular dan mencegah pandemi di masa depan (Tang et al., 2021). Adanya kelonggaran kebijakan pemakaian masker bagi masyarakat itu, bukan berarti kita mengabaikan hubungan penggunaan masker dan penyebaran tetesan batuk di udara. Sebab, efektivitas penggunaan masker terhadap Novel coronavirus (SARS-CoV-2) berdasar hasil penelitian terbaru, yang menegaskan pentingnya masyarakat umum untuk memakai masker non-bedah demi keselamatan masyarakat (Li et al., 2020).
Lebih jauh, Li et al., (2020) menuturkan bahwa mengenakan masker adalah salah satu tindakan intervensi nonfarmasi (NPI) yang dapat diterapkan secara efektif dengan biaya minimum dan tanpa mengganggu praktik sosial secara dramatis. Pedoman pemakaian masker sangat bervariasi di berbagai negara. Terlepas dari perdebatan di komunitas medis dan kekurangan produksi masker global, lebih banyak negara dan wilayah yang bergerak maju dengan rekomendasi atau mandat untuk memakai masker di depan umum.
Studi yang dilakukan Li et al., (2020) itu menggabungkan pemodelan matematika dan bukti ilmiah yang ada untuk mengevaluasi dampak potensial dari penggunaan masker medis normal di depan umum untuk memerangi pandemi COVID-19. Mereka mempertimbangkan tiga faktor utama yang berkontribusi pada efektivitas pemakaian masker berkualitas dalam mengurangi risiko penularan, termasuk tingkat pengurangan aerosol masker, cakupan populasi masker, dan ketersediaan masker.
Langkahnya, pertama-tama mensimulasikan dampak dari ketiga faktor ini pada jumlah reproduksi virus dan tingkat serangan infeksi pada populasi umum. Hasil studinya menunjukkan bahwa memakai masker wajah dapat secara efektif dikombinasikan dengan jarak sosial untuk meratakan kurva epidemi. Mengenakan masker menghadirkan cara rasional untuk diterapkan sebagai NPI untuk memerangi COVID-19.
Pahami Penyebaran Tetesan Batuk
Sementara itu, terkait masker dan penyebaran tetesan batuk di udara ini ada artikel penelitian terbaru, yang dimuat SAGE Journals, pada 18 Mei 2022. Artikel tersebut membahas terkait bagaimana memahami masa pakai dan penyebaran tetesan batuk di udara.
Artikel itu ditulis oleh Lordly et al., (2022). Dalam artikel disampaikan untuk memahami rute penularan SARS-CoV-2 yang tepat dan untuk mengeksplorasi efek waktu, ruang, dan lingkungan dalam ruangan terhadap dinamika tetesan dan aerosol, pengujian dan pengamatan yang ketat harus dilakukan. Dalam pekerjaan saat ini, dispersi spasial dan temporal tetesan aerosol dari batuk simulasi diperiksa secara komprehensif selama durasi yang lama (70 menit). Generator batuk buatan dibuat untuk menghasilkan ejeksi pernapasan berulang yang andal.
Proses pengukuran hal tersebut, dilakukan di lokasi yang berbeda di depan (sepanjang arah aksial dan off-sumbu) dan di belakang sumber dalam selungkup eksperimental tertutup. Aerosol 0,3-10 m (sekitar 20% dari jumlah inti maksimum) terbukti bertahan untuk waktu yang sangat lama di lingkungan yang tenang, dan ini memiliki implikasi substansial untuk penularan penyakit melalui udara.
Hasil eksperimen menunjukkan bahwa sistem ventilasi dapat mengurangi total volume aerosol dan masa pakai tetesan secara signifikan. Untuk menjelaskan pengamatan eksperimental secara lebih rinci dan untuk memahami perilaku tetesan di udara pada berbagai suhu lingkungan dan kelembaban relatif, simulasi numerik dilakukan menggunakan pendekatan Eulerian–Lagrangian. Simulasi menunjukkan bahwa banyak tetesan kecil tetap melayang di udara dari waktu ke waktu alih-alih jatuh ke tanah.
Untuk itu, secara demikian walau ada kebijakan pelonggaran pemakain masker, tentu untuk menjaga keselamatan bersama (masyarakat), maka kita harus bijak dalam menyikapi kebijakan pelonggaran pemakaian masker itu. Apalagi pada tahap awal pandemi itu, biasanya tidak ada vaksin atau obat yang efektif tersedia. Oleh karena itu, tindakan pencegahan harus dilakukan secara serius untuk mencegah penularan.
Arti lainnya, keberhasilan program kesehatan masyarakat bergantung pada apakah semua mekanisme penularan penyakit dapat dicegah. Ada kebutuhan untuk pemahaman yang lebih baik tentang penularan penyakit melalui udara untuk mengembangkan alat pelindung diri (APD) yang efektif dan menginformasikan kepada masyarakat tentang praktik yang terbaik ini.
Virus dan Droplet Pernapasan
Untuk memahami masker dan penyebaran tetesan batuk di udara, maka kita harus melihat bagaimana virus dalam doropet itu terjadi dan menyebarkan virusnya. Kita tahu, virus SARS-CoV-2 (diameter 0.1 m) dibawa melalui droplet pernapasan (diameter 0.2 m hingga beberapa mm) (Caldas et al., 2020).
Keberadaan virus itu dapat ditularkan dari orang yang terinfeksi ke orang yang sehat melalui (a) paparan bahan lingkungan; (b) kontak dekat dengan tetesan pembawa virus; dan/atau (c) transmisi aerosol, yaitu menghirup tetesan yang sangat kecil. Keputusan tentang jenis APD yang akan digunakan didasarkan pada risiko apakah partikel yang dihasilkan berukuran udara (≤ 5 m) atau ukuran tetesan (> 5 m) (World Health Organization (WHO), 2014).
Terkait ukuran cut-off 5 m itu adalah perkiraan, karena tetesan menjadi lebih mengudara secara bertahap sebagai diameter aerodinamis berkurang, dan sebagai hasilnya, diameter cut-off yang berbeda didalilkan (Gralton et al., 2011), (Nicas et al., 2005), (Prather et al., 2020). Virus ini paling sering ditularkan pada jarak pendek, yaitu dalam jangkauan proyektil tetesan. Di luar kisaran 2 m, terjadinya tetesan umumnya diyakini jarang terjadi karena pengendapan gravitasi lebih kuat daripada difusi.
Sebaliknya, aerosol tinggal di udara lebih lama dan dengan demikian, memiliki risiko penularan yang lebih tinggi, membutuhkan APD yang lebih mahal dan sulit dipahami, seperti masker N95/P100. Dalam artikel terbaru, Inthavong menunjukkan bahwa partikel udara yang bergerak di dalam zona pernapasan memasuki lubang hidung. Di dalam rongga hidung, partikel mikron dan submikron ditemukan dan ini dapat disimpan dengan cara yang sangat berbeda (impaksi inersia, sedimentasi dan difusi) dan pada berbagai posisi (Inthavong, 2020).