Tepuk Tangan untuk Pasukan Garda Terdepan
Tepuk tangan untuk pasukan garda terdepan
“Sudah puluhan orang tenaga medis yang menangani pasien Covid-19 meninggal dunia. Mereka gugur saat menjalankan sumpah profesinya, menyelamatkan nyawa manusia tanpa pandang bulu. Mereka bertaruh nyawa demi kesembuhan manusia lain”.
Oleh: Rohmansyah W. Nurindra
Begitu suara penyiar radio yang terdengar dari pelantang dalam mobil yang dikendarai dokter puskesmas di perbatasan DKI dan Propinsi Banten. Pagi ini, seperti biasa, ia berangkat jam 6 pagi menuju puskesmas tempatnya bertugas. Suaminya yang dokter spesialis di rumah sakit pemerintah di DKI sudah dari jam 5 pagi berangkat. Kebetulan suaminya baru saja selesai melakukan isolasi mandiri di rumah dan mulai bertugas kembali. Mendengar ucapan si penyiar, tetiba terngiang kembali percakapan serius dengan suaminya semalam.
Tadi malam, sang suami sudah menyampaikan wasiatnya. Ya, wasiat seperti seseorang yang akan meninggal dunia. Menyampaikan apa-apa yang harus dijalani apabila hal terburuk menimpa dirinya. Sekejap timbul rasa takut yang berubah menjadi amarah. “Bagaimana kalau hal buruk benar-benar terjadi?”. “Bagaimana nasib anak-anak kelak?”. “Mengapa penyakit ini harus ada?”. “Tuhan punya rencana apa untuk hidup manusia di bumi ini?”. “Bagaimana….”. “Kenapa………..”. “Mengapa……”. Semua berhamburan di pikirannya. Sayup-sayup terdengar Mumfrod and Sons melantunkan “after the storm”. Sejenak ia tersadar kembali dari “lamunan buruk”. beristigfar dan kembali fokus mengendarai mobilnya menuju tempat bekerja. Juga untuk “bertaruh nyawa”.
Tepuk tangan untuk pasukan garda terdepan
Sebuah cerita haru dari tenaga medis, yang mungkin sebagian orang menganggap terlalu di dramatisir. Namun, nyatanya justru malah lebih darmatis dari cerita sebenarnya. Seiring merebaknya pandemi Covid-19, tenaga medis dan paramedis mengukir cerita dahsyat dalam peperangan melawan makhluk tak kasat mata. Ini karena tenaga medis merupakan pasukan garda terdepan dalam penanganan pasien yang positif terinfeksi virus mematikan ini. Seperti diketahui, Virus Corona dengan karakteristik mudah menular, membuat tenaga medis yang bersentuhan langsung dengan penderita, harus ekstra berhati-hati dalam menangani pasien. Padahal, sumber penular begitu banyak menghampiri mereka setiap saat.
Kisah-kisah miris, sedih, haru, sekaligus “menakutkan” perihal perjuangan dan pengorbanan tenaga medis saat pandemi virus corona, mungkin telah banyak kita baca, dengar atau pernah melihatnya langsung. Kisah berikut merupakan kisah dari sebagian kecil dinamika pahlawan kita dalam menghadapi pandemi Covid-19. Berikut adalah sebagian cerita mereka.
APD dan Ketidaknyamanan
Seorang kerabat yang bertugas di sebuah Puskesmas di Kota Bandung menceritakan pengalaman “rasanya” menjadi pasukan garda terdepan. Kelangkaan alat pelindung diri (APD) dan tidak nyamannya menggunakan APD menjadi cerita dengan “sensasi” tersendiri dalam penanganan pasien, walaupun rasa syukur masih terucap di sela kegelisahannya. Hal ini tersirat dari pengakuan sebagai berikut:
Tepuk tangan untuk pasukan garda terdepan
“Jadi petugas medis di Puskesmas pas wabah covid gini lumayan, Pa. Menguras keringat pisan. Keterbatasan APD dari mulai Covid-19 ini kita di Puskesmas ga punya APD pisan. Sampe pake jas hujan. Nah pake jas hujan beli dengan dana pribadi dan yg harusnya “disposible”, kita cuci ulang, pake disinfektan biar bisa dipake deui. Da boros upami kedah meser teras. Pihak dinkes lambat pisan tanggapna buat APD. Masker dijatah, itu pun susah ga dateng-dateng. Stok hand sanitizer akhirnya habis semua juga. Ketika udah banyak kasus, baru ngasih, itu pun ngasih N95 paling cuma 4 sedangkan karyawan 25”.
“Belum pake APD teh makan waktu pisan, lepas APD ge sama ripuhna...hahahaha. Belum puskesmas peralatan seadanya. Kalo ada pasien gawat darurat ketika dibawa ke RS ada beberapa penolakan di RS tertentu..ha ha ha. Geus mah panas make APD dicarekan deui ku pihak RS. Terus kadang saya ge jadi tukang semprot disinfektan ka rumah warga positif da ga ada kesling. Nanganin limbah ge sendiri..haha.. Sagala profesi alhamdulillah. Bersyukur tapi jadi tim medis masih bisa kerja, Pa. Karunya nu lain banyak yg di PHK”.
APD full protection sepertinya merupakan prosedur yang wajib diterapkan di seluruh instalasi kesehatan. Kerabat lain pun pernah bercerita mengenai hal paling tidak mengenakkan ketika menangani pasien selama masa pandemi ini.
Tepuk tangan untuk pasukan garda terdepan
“Saya kebetulan dines di ruang instalasi gawat darurat (IGD), datanglah pasien perempuan usia 35 tahun datang diantar keluarga dengan keluhan demam, flu, batuk. Pada saat jaga dines sudah full PPE saya pakai, kemudian dokter memeriksa pasien tersebut, dan menginstruksikan kepada saya untuk mengambil sample darah dan x-ray untuk diperiksa lebih lanjut. Pada saat itu saya langsung menyiapkan alat-alat dan datang kepada pasien untuk mengambil sampel darah. Ketika saya tiba, pasien berkata “kenapa pakai pakaian seperti itu saya tidak positif corona dengan nada suara tinggi dan muka marah”. Saya cuma bisa menghela nafas dan menjelaskan kepada pasien bahwa pada saat ini memang kita diwajibkan untuk menggunakan alat pelindung diri dengan lengkap sesuai prosedur aturan pemerintah dan kementrian kesehatan.”
Masalah yang dihadapi petugas medis di Indonesia dalam menangani kasus Covid-19ini salah satunya adalah sifat tidak jujur pasien. Ini juga menjadi fakta yang mesti dijadikan pembelajaran bagi siapapun. Ternyata, banyak pasien tidak mau menjelaskan secara jujur kondisi kesehatan maupun riwayat keterpaparan sebelumnya.
Tepuk tangan untuk pasukan garda terdepan
Antara Takut dan Kemanusiaan
Cerita tidak nyamannya APD yang “tak biasa” adalah cerita yang bukan rahasia lagi bagi petugas kesehatan di masa pandemi ini. Dilema muncul ketika ketakutan, kegelisahan harus dibenturkan dengan rasa kemanusian. Bahkan untuk sekedar pulang melepas rindu dengan keluarga pun, mereka harus melalui prosedur yang melelahkan.
Satu waktu media ramai memberitakan seorang perawat di RS Cipto Mangun Kusumo Jakarta, tercatat sebagai tenaga medis pertama yang meninggal dunia akibat terinfeksi virus Corona penyebab Covid-19. Setelah mendapat perawatan, ia pun meninggal dunia di RSPI Sulianti Saroso. Perawat tersebut tentu bukan satu satunya kasus di Indonesia. Setidaknya, 55 orang petugas medis gugur sebagai pahlawan kemanusian akibat terjangkit virus tersebut.
Kematian terkadang merupakan risiko pekerjaan yang mungkin bisa menimpa siapa saja. Namun, bagaimana jika kita sendiri sudah tahu risiko tersebut tapi harus tetap menghadapainya. APD lah yang menjadi jalan tengahnya.
Seorang dokter asal Yogyakarta mencurahkan isi hatinya atas perjuangannya melawan pandemi Corona. Lewat unggahan di akun Instagram-nya ia menceritakan bagaimana ia yang notabene merupakan ibu tunggal dari dua putri harus “pasang badan” melawan di pertahan terdepan. Sebagai seorang dokter dan sekaigus kepala keluarga tentu wajari jika muncul rasa dilema dengan keadaanya saat ini. Hal ini tercermin dari seperti pernyataan berikut:6
Tepuk tangan untuk pasukan garda terdepan
“Sebagai dokter di garda terdepan, setiap hari menerima ODP dan PDP dari wabah Covid-19. Sedih rasanya jika aku nanti sakit tertular virus yang jahat ini,”
Pingback: Daftar Artikel Kesehatan - Inspirasi Sanitarian