Jurnal Kesehatan LingkunganKesehatan LingkunganOpiniTeknologi Tepat Guna

Mengatasi Krisis Air Bersih dengan Pembentukan Kampung Iklim dan Model Desa Konservasi di Jawa Barat

Mengatasi krisis air bersih dengan pembentukan kampung iklim dan model desa konservasi di Jawa Barat. Air memiliki peranan penting dalam kehidupan makhluk hidup. Manusia adalah salah satu makhluk hidup yang sangat memerlukan keberadaan air bersih. Kondisi air bersih ini, tentu harus memenuhi syarat baik dari segi kualitas (fisik, kimia, dan bakteriologis), kuantitas, dan kontinuitasnya.

Oleh: Arda Dinata 

Latar Belakang

In SANITARIAN – Air memiliki peranan penting dalam kehidupan makhluk hidup. Manusia adalah salah satu makhluk hidup yang sangat memerlukan keberadaan air bersih. Kondisi air bersih ini, tentu harus memenuhi syarat baik dari segi kualitas (fisik, kimia, dan bakteriologis), kuantitas, dan kontinuitasnya.

Terkait masalah air yang belum penuhi standar, cukup menarik pemberitaan koran Pikiran Rakyat (PR) Bandung, edisi 20/9/2017, yang mewartakan bahwa sebagaian besar air yang diminum masyarakat Indonesia belum memenuhi standar Kementerian Kesehatan. Standarisasi kualitas air minum masih terkendala pengujian di laboratorium yang terakreditasi.

Kepala Subdirektorat Air dan Sanitasi Kemenkes RI, Sonny Priajaya Warouw meyakini konsumsi air tidak layak minum mengakibatkan pertumbuhan fisik 37,2% penduduk Indonesia tidak maksimal. Sebab, konsumsi air tak layak minum menjadi salah satu penyebab diare. Pembangunan manusia di Indonesia bisa lebih baik jika ditunjang konsumsi minum yang sesuai standar internasional.

Sementara itu, kondisi kekurangan air bersih saat ini diperburuk dengan terjadinya pencemaran sungai yang seharusnya bisa digunakan dan dimanfaatkan saat terjadi kekeringan pada musim kemarau. Pencemaran air itu, lebih banyak disebabkan kebiasaan buruk masyarakat membuang sampah sembarangan dibandingkan dengan limbah industri.

Kalau dilihat dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Indonesia ialah sebesar 66,8 persen (perkotaan: 64,3%; perdesaan: 69,4%). Untuk kondisi di Prov. Jabar, cakupan pelayanan air bersih realitasnya pada tahun 2013 baru mencapai 60,68%. (BadanLitbangkes, 2014). Sedangkan target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018 Prov. Jabar ialah sebesar 92,5%. (Pokja AMPL- Sanitasi, 2014).

Berdasarkan data Riskesdas, ada peningkatan untuk rumah tangga yang bisa akses ke sumber air minum ‘improved’ 62,0 persen tahun 2007 menjadi 66,8 persen tahun 2013. Jenis sumber air untuk seluruh kebutuhan rumah tangga di Indonesia umumnya adalah sumur gali terlindung (29,2%), sumur pompa (24,1%), dan air ledeng/PDAM (19,7%). Di perkotaan, lebih banyak RT yang menggunakan air dari sumur bor/pompa (32,9%) dan air ledeng/PDAM (28,6%), sedangkan di perdesaan lebih banyak menggunakan sumur gali terlindung (32,7%).

Apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2010, maka proporsi RT di Indonesia yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved cenderung meningkat (tahun 2007: 62,0%; tahun 2010: 62,9%; tahun 2013: 66,8%). (Badan Litbangkes, 2008), (Badan Litbangkes, 2011), (BadanLitbangkes, 2014).

BACA JUGA:  Agar Kapal Tidak Kebakaran

Dengan demikian, masih adanya deviasi pengelolaan air bersih di Provinsi Jawa Barat tersebut. Artinya bila masalah air ini dibiarkan akan berdampak pada timbulnya Water borne disease, yaitu penyakit yang ditularkan melalui air. Penyakit ini dapat ditularkan melalui air minum, dimana air yang diminum mengandung kuman penyakit atau bahan kimia yang beracun. Contohnya penyakit kolera, disentri, tifoid, hepatitis infeksiosa, dan gastro enteritris.

Makalah ini membahas terkait mengatasi krisis air bersih dengan pembentukan kampung iklim dan model desa konservasi di Jawa Barat. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Mengungkap dampak perubahan iklim (krisis air bersih) terhadap kesehatan di wilayah Jawa Barat.
  2. Mengetahui bagaimana kegiatan adaptasi yang dapat dilakukan untuk menghadapi perubahan iklim di wilayah Jawa Barat.
  3. Mencari model yang tepat dalam pengamanan kualitas air dari risiko pencemaran dengan melibatkan peran serta masyarakat di wilayah Jawa Barat.
Mengatasi Krisis Air Bersih dengan Pembentukan Kampung Iklim dan Pembentukan Desa Konservasi

Pembahasan

Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah jadi isu nasional maupun internasional. Selama ini belum adanya publikasi secara resmi terkait informasi tentang kondisi perubahan iklim secara lengkap seluruh wilayah Indonesia.

Jawa Barat merupakan pulau yang berpenduduk padat, sebagai pusat perekonomian, pusat pemerintahan dan juga sebagai pusat pertanian sangat memerlukan informasi perubahan iklim tersebut. Apalagi, Jawa Barat sendiri merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana banjir, longsor, kekeringan dan lainnya.

Oleh karena itu, informasi secara spasial tentang wilayah-wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim sangat diperlukan untuk menentukan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di wilayah tersebut.

Menurut Hadi Suyono, trend dryspell maksimum (jumlah hari tidak hujan maksimum secara berturut-turut) wilayah di Jawa Barat yang mengalami kenaikan yang cukup tajam antara lain daerah barat laut Majalengka, wilayah Tasik dan beberapa tempat lain sekitar Karawang serta wilayah pantai utara Bekasi. Sedangkan, wetspell maksimum (jumlah hari hujan maksimum secara berturut-turut) terjadi kecenderungan naik di wilayah Garut, sebelah barat Bandung, daerah sekitar Depok dan Bogor. Dan frekuensi hujan lebat (kejadian curah hujan > 60 mm per hari) ialah pada wilayah yang mengalami kecenderungan naik di sebelah timur Majalengka dan beberapa tempat lain tetapi tidak begitu tajam. (Hadi Suyono, n.d.).

Histori Kondisi Iklim Indonesia

Bukti ilmiah antara 1906-2005, rata-rata suhu permukaan global meningkat dengan laju 0.74°C ± 0.18° (IPCC, 2007) mengakibatkan perubahan iklim di berbagai tempat, termasuk di Indonesia. Perubahan iklim akan memberikan dampak pada berbagai sektor kehidupan.

BACA JUGA:  Mengenal Perkembangan Parasit Malaria

Keberlanjutan pelaksanaan kegiatan pembangunan akan terganggu apabila tidak dilakukan upaya-upaya adaptasi yang terencana untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, dalam penyusunan rencana aksi adaptasi diperlukan landasan ilmiah yang kuat agar upaya adaptasi yang dilakukan efektif dan menjamin keberlanjutan pembangunan (Bappenas, 2013).

Lebih lanjut diungkapkan Kementerian PPN/Bappenas, secara histori kondisi iklim Indonesia bahwa pola hujan di Indonesia ini sangat bervariasi dan secara umum dibagi menjadi tiga tipe hujan yang dominan, yakni monsunal, ekuatorial, dan lokal. (PPN/Bappenas, 2013).

Untuk tren perubahan suhu permukaan sendiri, berdasarkan hasil kajian secara umum trend data jangka panjang menunjukkan konsistensi laju peningkatan suhu 0.002°C/tahun atau 0.02°C/dekade; dan laju kenaikan suhu meningkat cepat setelah tahun 1960-an. Tren kenaikan suhu permukaan laut (SPL) adalah memiliki tren kenaikan SPL semakin tinggi; sejak 1905 laju kenaikan rata-rata: 0.7°C/100 tahun; di wilayah Indonesia, tren kenaikan berkisar 0.8-1.5°C/100 tahun; tren kenaikan tersebut masih sebanding dengan tren kenaikan temperatur global sebesar 0.78 ± 0.18°C (IPCC, 2007).

Adapun tren kenaikan tinggi muka laut (TML) untuk periode 1960-2008, TML di Indonesia memiliki laju peningkatan sebesar 0.8 mm/tahun; dan tren melonjak naik menjadi 7 mm/tahun dari tahun 1993. Tren kenaikan TML ini lebih tinggi terjadi di wilayah Indonesia bagian timur dibandingkan di Indonesia bagian barat.

Sementara itu, tren perubahan curah hujan, terlihat ada kenaikan curah hujan untuk Desember-Januari-Februari (DJF) terjadi di hampir seluruh Pulau Jawa dan Indonesia bagian timur, seperti Bali, NTB, dan NTT. Untuk curah hujan Juni-Juli-Agustus (JJA), tren penurunan yang signifikan dapat ditemui di hampir seluruh wilayah Indonesia, kecuali Pandeglang (Jawa Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), Manokwari, Sorong (Papua), dan Maluku. Adapun tren kejadian cuaca dan iklim ekstrem, yaitu telah terjadi peningkatan peluang curah hujan ekstrem harian di sebagian wilayah Indonesia, kecuali beberapa wilayah di Maluku, dalam kurun waktu kurang lebih selama 10 tahun selama 1998-2008.

Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim ialah perubahan pada indikator-indikator iklim seperti suhu permukaan, curah hujan, suhu permukaan laut, tinggi muka laut, serta kejadian iklim dan cuaca ekstrem. Adapun potensi dampak perubahan iklim ini akan berdampak pada bidang-bidang yang terkait dengan sistem pembangunan nasional, ekonomi, tatanan kehidupan, ekosistem, serta wilayah khusus.

Dampak kenaikan suhu permukaan itu berakibat langsung pada manusia, tumbuhan, dan hewan seperti serangga. Dampak lainnya, ialah munculnya potensi peningkatan konsumsi energi pada wilayah tropis seperti Indonesia, mengakibatkan evapotranspirasi berlebihan pada tumbuhan, timbulnya kebakaran hutan, serta pengembangbiakan serangga lebih cepat dan luas.

Untuk itu, adanya kejadian iklim dan cuaca ektrem tersebut memiliki beragam dampak yang spontan dan masif sehingga perlu diadaptasi dalam bentuk upaya pengelolaan penanggulangan bencana. Sesuai dengan Hyogo Framework (ISDR, 2005), integrasi adaptasi perubahan iklim dengan pengurangan risiko bencana merupakan suatu tantangan baru untuk disinergikan pada sistem pembangunan nasional (Bappenas, 2013).

BACA JUGA:  Mekanisme dan Penanganan Keracunan Merkuri

Adapun faktor yang berpengaruh perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, antara lain adalah curah hujan, temperatur, produksi beras, serta aspek akses terhadap pangan yaitu masalah kemiskinan. Berdasarkan data dari Global Precipitation Climatology Centre (GPCC) telah dilakukan analisis rata-rata curah hujan tiap 30 tahunan, hasilnya menunjukkan bahwa pola curah hujan Jawa Barat selama 90 tahun (1901-1990) tidak mengalami perubahan yang nyata. Akan tetapi dalam dua dekade terakhir (1991-2007) terjadi perubahan yang cukup berarti. Terlihat awal musim kering bergeser ke bulan Juli yang sebelumnya bulan Juni dan akhir musim kering bergeser ke bulan November. Curah hujan bulan September sampai Desember juga lebih rendah dari rata-rata 90 tahun sebelumnya, sedangkan rata-rata curah hujan bulan April-Juni lebih tinggi dari rata 90 tahun sebelumnya (Suriadi, 2010).

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak ganda perubahan iklim. Meskipun kepastian mengenai besarnya bahaya masih belum dapat dipastikan, namun menurut catatan Bank Dunia beberapa yang diperkirakan akan sangat signifikan adalah (Bank Dunia, 2016):

(1) Kenaikan temperatur yang tidak terlalu tinggi. Temperatur rata-rata tahunan di Indonesia telah mengalami kenaikan 0.30C (pengamatan sejak 1990). Tahun 1998 merupakan tahun terpanas dalam abad ini, dengan kenaikan hampir 10C (di atas rata-rata dari tahun 1961-1990).

(2) Curah hujan yang lebih tinggi. Diperkirakan, akibat perubahan iklim, Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan 2-3 persen per tahun, serta musim hujan yang lebih pendek (lebih sedikit jumlah hari hujan dalam setahun), yang menyebabkan resiko banjir meningkat secara signifi kan. Hal ini akan merubah keseimbangan air di lingkungan dan mempengaruhi pembangkit listrik tenaga air dan suplai air minum.

Arda Dinata

*Arda Dinata, adalah kolomnis tetap di Sanitarian Indonesia (http://insanitarian.com). Aktivitas hariannya sebagai peneliti, sanitarian, dan penanggungjawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, tinggal di Pangandaran.

Tinggalkan Balasan

error: