Menulis Sebagai Terapi Stress
Menulis sebagai terapi stress. Yuk, menulis!
Masih ingatkah Kau jalan pulang? Tak ada jalan Dan tak ada pulang Kita diatap langit Nun dibawah rata belaka Suatu saat biru Di saat lain merah kesumba | Jadi kau tidak ingat lagi Tak percaya lagi Akan jalan pulang? Apakah pergi harus Juga pulang Apakah pergi Harus juga berpikir Untuk pulang? Apakah pulang hanya ada Kalau kita pergi? Apakah pulang Dan pergi harus berpasangan? |
Oleh: Mara Ipa
Menulis sebagai terapi stress. Yuk, menulis!
Sebuah karya Sapardi Djoko Damono1 yang dikutip dari buku Masih Ingatkah Jalan Pulang? Bagaimana perasaan kawan saat membaca rangkaian kata di atas? Bagaimana kalau kita menuangkan perasaan dalam rangkaian kata?
Ah, bagi saya hal tersebut semacam terapi dari kecamuk pikiran yang semrawut. Ya, terapi supaya tetap sadar! Situasi saat ini dengan adanya pandemi corona virus disesase 2019 (Covid-19), benar-benar meluluhlantakkan dunia.
Makhluk kasat mata ini menjadikan negara adidaya sekalipun bertekuk lutut tersungkur tidak berkutik. Bagaimana tidak, semua kegiatan nyaris stagnan. Lebih buruk, mengalami kemunduran. Dampaknya pun tidak main-main, melibas semua aspek kehidupan.
Tulisan kali ini, hendak memberikan satu alternatif aktivitas yang bisa dilakukan disaat diberlakukannya “Work From Home” (WFH). Sepertinya sudah tidak asing lagi istilah WFH ini, yang berarti semua instansi/perkantoran diminta bekerja dari rumah dengan beberapa syarat dan ketentuan (S&K).
Bekerja dari rumah tidak serta-merta menjadi priviledge, bagi sebagian lainnya mungkin bisa jadi siksaan dengan rasa bosan yang dapat melanda. Lebih buruk dari itu, jika kita tidak pandai mengolah jiwa, raga, dan pikiran, bisa menimbulkan stress.
Menulis sebagai terapi stress. Yuk, menulis!
Nah, seperti yang telah saya sampaikan, bahwa menulis dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengisi waktu luang selama WFH. Selain sebagai pengisi waktu luang, ternyata menulis memiliki bejibun manfaat lainnya loh! Let’s check it out!
Menulis sebagai terapi, seriusan ini? Ya, sejuta kali serius. Masih lekat dalam ingatan saya saat berusia dua belas tahun menjelang tiga belas. Saat itu, saya bersekolah di bangku sekolah menengah pertama (SMP), di masa pubertas itu lagi nge-hits yang namanya diary alias buku harian.
Tentunya, saya juga ikut koleksi buku diary yang fancy dan pake gembok gitu. Agar private ceritanya. Segala hal yang dirasa, baik senang, sedih, keinginan beli sesuatu, naksir lawan jenis, bingung ngerjain pekerjaan rumah, sampai bokek pun ditulis deh berlembar-lembar.
Pada masa itu, tidak terpikir fungsi menuangkan segala sumpah serapah atau unek-unek lewat tulisan di buku harian. Setidaknya, saat itu saya mengingat bahwa saya anak kekinian dimasanya.
Namun, bagi sebagian lainnya, ada yang merasa menulis merupakan hal yang sulit dan kurang menyenangkan. Berbagai alasan pun mereka utarakan, mulai dari membosankan, tidak tahu bagaimana memulai, tidak ada ide, tidak punya bakat, tidak ada waktu, dan lain sebagainya. Saya berharap, setelah mereka mengetahui manfaat menulis semoga dapat sedikit mengubah pandangan betapa kegiatan menulis bisa juga menyehatkan jiwa.
Temuan Empirik
Menulis sebagai terapi stress. Yuk, menulis!
Pingback: Daftar Artikel Kesehatan - Inspirasi Sanitarian