Parameter Kualitas Daging
Parameter kualitas daging sangat penting diperhatikan sebelum kita membeli dan mengolahnya. Apalagi, kita tahu daging itu merupakan salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Lebih-lebih daging ini dapat menimbulkan kepuasan atau kenikmatan tersendiri bagi yang memakannya. Kenyataan ini cukup beralasan, sebab kandungan gizi daging itu terbilang cukup lengkap.
Oleh: Arda Dinata
In SANITARIAN – Belakangan ini kasus daging tidak layak konsumsi semakin banyak ditemukan keberadaannya di masyarakat. Hal ini terungkap seiring kebutuhan daging di bulan puasa terus meningkat, sehingga pengawasan dari pemerintah pun kelihatan lebih ditingkatkan. Kondisi ini terungkap, hemat penulis sebenarnya keberadaan kasus penyimpangan terhadap penanganan konsumsi daging di masyarakat jumlahnya lebih banyak lagi.
Atas dasar itu, maka sikap hati-hati dan waspada perlu dilakukan masyarakat sebelum mengkonsumsi daging. Salah satunya adalah kita jangan terlena pada murahnya harga daging yang ditawarkan, sehingga kita mengabaikan kualitas dan kesehatan daging. Padahal, daging yang dikonsumsi masyarakat itu sangat berpengaruh pada kesehatannya.
Apalagi, kita tahu daging itu merupakan salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Lebih-lebih daging ini dapat menimbulkan kepuasan atau kenikmatan tersendiri bagi yang memakannya. Kenyataan ini cukup beralasan, sebab kandungan gizi daging itu terbilang cukup lengkap.
Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana kita menentukan kalau daging itu memiliki kualitas yang baik?
Kualitas daging
Pada dasarnya, ciri-ciri fisik daging itu sangat ditentukan oleh jenis hewan, tata laksana pemeliharaan, jenis pakan yang diberikan, dan keadaan emosional hewan tersebut sebelum dipotong.
Jadi, tiap-tiap hewan itu memiliki ciri-ciri daging yang berbeda. Daging sapi muda misalnya memiliki ciri, umumnya berwarna agak pucat kelabu sampai merah tua. Terdiri atas serabut-serabut yang halus, konsistensinya agak lembek. Sedangkan untuk daging sapi yang tua, kondisi warnanya merah pucat, berserat halus dengan sedikit lemak, konsistensinya liat, serta bau dan rasanya aromatis.
Sementara itu, untuk daging domba dan kambing hampir sama yakni konsistensinya tinggi, berlemak putih berbau sangat khas. Bedanya, daging kambing itu warnanya lebih pucat.
Terkait dengan ciri-ciri daging tersebut, menurut Dr.Ir.Soeparno dari Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menyebutkan bahwa dalam menilai kualitas daging itu kita harus memperhatikan parameter spesifik kualitas dagingnya. Yakni menyangkut warna daging, daya ikat air oleh protein daging, pH daging, susut masak, keempukan dan tekstur daging, flavor dan aromanya.
Pertama, warna daging. Di sini, banyak faktor yang mempengaruhi warna daging, termasuk masalah pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Dengan kata lain, warna daging ini bervariasi tergantung dari jenis hewan secara genetik dan usia. Misalnya, daging sapi potong lebih gelap daripada sapi perah. Begitu pun daging sapi muda lebih pucat daripada daging sapi tua.
Kondisi warna daging ini dapat diukur dengan notasi atau dimensi warna tristimulus (Keefford; 1963). Ketiga notasi warna itu didefinisikan sebagai: hue= warna (misalnya merah, biru dan hijau), nilai= terang atau gelap, dan kroma= jumlah atau intensitas warna (bila hue bercampur dengan putih).
Kedua, daya ikat air oleh protein daging. Istilah lainnya adalah water holding capacity [WHC] atau water binding capacity [WBC]. Yakni kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging itu sendiri sesungguhnya memiliki sifat absorpsi air. Artinya daging itu mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan.
Dalam hal ini, air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen. Yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan monomolekular pertama. Lapisan kedua, air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga, adalah molekul-molekul air bebas di antara molekul protein, berjumlah kira-kira 10%.
Terkait dengan itu, menurut Wusmer-Pedersen (1971), jumlah air terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan jumlah air terikat yang lebih lemah yaitu lapisan air di antara molekul protein akan menurun bila protein daging mengalami denaturasi.
Dalam bahasa yang lain, dapat dikatakan bahwa secara normal daging mempunyai permukaan relatif kering sehingga dapat menahan pertumbuhan mikroorganisme dari luar. Jadi, kondisi ini tentu akan mempengaruhi daya simpan daging tersebut.
Ketiga, derajat keasaman (pH) daging. Pengukuran pH ini tidak dapat diukur segera setelah proses pemotongan (biasanya dalam waktu 45 menit) untuk mengetahui penurunan pH awal. Baru pengukuran selanjutnya dapat dilakukan minimal setelah 24 jam untuk mengetahui pH akhir dari daging atau karkas.
Pengukuran pH daging pada karkas dapat dilakukan dengan menggunakan elektroda pH gelas. Bila di laboratorium, pH dapat diukur dengan cara melumatkan daging menjadi daging maserasi dengan penambahan 5 mM Sodium Iodoasetat untuk menghentikan glikolisis dan 150 mM Potassium Klorida untuk mencegah perubahan nilai pH buffer otot (Bendall, 1973).
Keempat, susut masak. Hal ini merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan. Selain itu, susut masak dapat dipengaruhi juga oleh pH, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging (Bouton et al, 1971).
Di sini, susut masak menurun secara linear dengan bertambahnya umur ternak. Misalnya, pada sapi, susut masak otot yang dimasak pada temperatur 80 derajat Celcius selama 90 menit, menurun dengan meningkatnya umur. Untuk umur 2, 9, 16, 27, 42 dan 120 bulan, susut masak masing-masing adalah: 34,5, 33,3, 33,6, 32,3, 32,5, dan 31,3 persen (Bouton et al, 1978).
Kelima, keempukan dan tekstur daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi 2 yaitu faktor antemortem (genetik, bangsa, spesies dan fisiologi, umur, manajemen, jenis kelamin, dan stres). Faktor kedua, adalah postmortem, diantaranya meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan. Jadi, keempukan ini bisa bervariasi di antara spesies, bangsa, potongan karkas, dan di antara otot, serta pada otot yang sama.