Ekstra Kulit Jengkol Atasi Jentik DBD
Ekstra kulit jengkol atasi jentik DBD. Jengkol (P. lobatum) merupakan salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk pengendalian vektor DBD karena mengandung asam fenolat, alkaloid, terpenoid, dan saponin.
Oleh: Arda Dinata Peneliti di Loka Litbangkes Pangandaran, Balitbangkes Kemenkes RI
In SANITARIAN – Pengendalian vektor DBD umumnya menggunakan insektisida sintetis, namun penggunaannya berdampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Jengkol (P. lobatum) merupakan salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk pengendalian vektor DBD karena mengandung asam fenolat, alkaloid, terpenoid, dan saponin.
Lalu, bagaimana cara kerja ekstra air kulit jengkol ini sebagai insektisida botani, sehingga berpengaruh terhadap indeks pertumbuhan jentik Aedes aegypti, yang menyebabkan terjangkitnya demam berdarah dengue (DBD)?
Mengenal Aedes aegypti
Penyakit DBD pertama kali mewabah di Indonesia tahun 1968. Jumlah penderita DBD dari tahun ke tahun semakin meningkat disertai dengan penyebaran yang meluas (Hasyimi, et.al; 1997). DBD merupakan penyakit yang disebab oleh virus dengue, termasuk kategori penyakit menular. Penyakit ini disebarkan melalui perantara nyamuk, terutama yang termasuk genus Aedes. Dan nyamuk Aedes aegypti ini termasuk dalam genus Aedes, famili culicidae, ordo diptera (Wijana; 1982).
Aedes aegypti dalam menularkan virus dengue dengan cara menghisap darah manusia yang mengandung virus dengue dan menularkannya kembali pada manusia yang belum terkena virus dengue. Mewabahnya penyakit DBD sampai sekarang belum ditemukan obatnya, sehingga salah satu usaha untuk mencegah penyebarannya dilakukan dengan cara pengendalian vektor nyamuk Aedes aegypti.
Pengendalian vektor Aedes aegypti dilakukan dengan tujuan memutus siklus hidup Aedes aegypti. Cara pemutusan rantai siklus hidup nyamuk terdiri dari empat macam, yaitu: melenyapkan penyebab penyakit (virus dengue), isolasi penderita, mencegah gigitan nyamuk (vektor), dan pengendalian vektor. Salah satu usaha pengendalian vektor adalah pada usia jentik. Adapun usaha pengendalian jentik (larva) nyamuk dilakukan dengan dua cara, yaitu pengendalian secara kimiawi dan biologi.
Pengendalian secara biologi, diartikan sebagai pengaturan populasi vektor dengan menggunakan musuh-musuh alamiah. Sedangkan pengendalian secara kimiawi, yaitu pengaturan populasi vektor yang salah satu caranya menggunakan larvasida. Pengendalian tersebut akan sangat mempengaruhi siklus hidup Aedes aegypti (Jumar; 2000).
Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, stadiumnya terdiri dari telur, larva (kemudian ditulis jentik), pupa, dan nyamuk dewasa. Stadium telur berwarna hitam dengan ukuran + 0,8 mm, berbentuk oval. Di sekeliling telur tidak terdapat kantung udara yang berfungsi sebagai alat untuk mengapung (Ditjen PPM & PLP; 2002). Telur itu, kemudian menetas menjadi jentik. Chistophers (1960) menyatakan bahwa jentik Aedes aegypti berbentuk silindris, terdiri dari caput yang berbentuk globuler, thorak, dan abdomen yang terdiri dari 8 segmen. Bagian caput terdapat bulu sikat yang digunakan untuk mencari makan dan sepasang antena. Bagian abdomen segmen ke-8, terdapat sifon sebagai alat pernapasan. Ciri khas yang membedakan jentik Aedes aegypti dengan jentik Aedes lain ialah duri samping gigi sisir anal (baca: pada bagian comb).
Dalam perkembangannya, jentik Aedes aegypti ini mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali dari instar I, II, III, dan IV. Jentik instar I berukuran 1-2 mm, setelah 1 hari berubah menjadi instar II. Ukuran jentik instar II adalah 2,3-3,9 mm. Jentik instar II ini, setelah 2-3 hari akan menjadi instar III, yang memiliki ukuran 5 mm. Baru setelah 2-3 hari jentik instar III ini berubah menjadi instar IV dengan ukuran 7-8 mm.
Setelah jadi jentik instar IV, lalu berubah menjadi pupa. Ditjen PPM & PLP Depkes. RI. (2002), menyatakan bahwa pupa ini berbentuk seperti koma dan bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibandingkan dengan jentik. Pupa kemudian berubah menjadi nyamuk dewasa yang ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Mempunyai dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kakinya. Nyamuk Aedes aegypti dewasa, mempunyai panjang tubuh 3-4 mm. Mempunyai bintik hitam dan putih pada badan dan kepalanya, dan punya ring putih pada kakinya. Posisi menggigit pada kulit manusia ialah mendatar (Ditjen. PPM & PL Depkes. RI; 2004).
Nyamuk Aedes aegypti dalam perkembangannya, hidup dalam dua tempat. Yakni 3 stadium berkembang di dalam air (telur, jentik, dan pupa) dan 1 stadium hidup di udara bebas (nyamuk dewasa). Sementara itu, kondisi air yang jernih merupakan tempat untuk pertumbuhan Aedes aegypti, mulai dari telur sampai pupa. Posisi jentik menggantung pada permukaan air membentuk sudut 45 derajat (Levine; 1994 dalam Nurchasanah; 2004). Sementara itu, nyamuk Aedes aegypti dewasa, biasanya terdapat di tempat-tempat yang lembap dan kurang terang (agak redup), misalnya kamar mandi, dapur, kelambu, pakaian yang menggantung, gorden, dan lainnya.
Jentik Aedes aegypti untuk mendapatkan makanannya yang berupa partikel-partikel kecil dari air tempat hidupnya dengan membuat pusaran air kecil dalam air dengan menggunakan bagian ujung dari tubuhnya yang ditumbuhi bulu sehingga mirip kipas. Kisaran air tersebut menyebabkan bakteri dan mikroorganisme lainnya tersedot dan masuk ke dalam mulut jentik Aedes aegypti. Untuk proses pernapasannya sendiri, jentik Aedes aegypti menggunakan sifon. Luar biasanya, tubuh jentik Aedes aegypti ini mengeluarkan cairan kental yang mampu mencegah air untuk memasuki lubang tempat berlangsungnya pernapasan (Yahya; 2005).
Kalau kita teliti, ternyata stadium Aedes aegypti yang paling lama ialah berada dalam air, termasuk aktivitas makannya juga dalam air. Untuk itu, upaya pengendalian yang sesuai dengan stadium ini berupa abatisasi. Di mana, abatisasi merupakan pengendalian dengan menggunakan insektisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetis memang lebih mudah digunakan dan lebih efektif, namun penggunaan intektisida sintetis ini dinilai kurang baik karena dapat menimbulkan resistensi, resurgensi, dapat membunuh jasad yang bukan sasaran, serta menurunkan kualitas lingkungan (Metcalf & Luckman; 1982).
Untuk itu, salah satu insektisida alternatif yang berpotensi dalam mengendalikan populasi serangga adalah insektisida botani dari senyawa aktif yang terkandung dalam tumbuhan (Schmutterer; 1990). Istilah lainnya adalah menggunakan insektisida botani. Penggunaan insektisida botani ini, menurut Syahputra (2001) dinilai lebih baik daripada insektisida sintetis, karena insektisida botani mempunyai sifat tidak stabil, sehingga lebih mudah didegradasi secara alami.
Ekstra kulit jengkol
Dewasa ini insektisida alami telah banyak ditemukan, salah satunya yang pernah diteliti Nursal (2005), yaitu ekstrak etanol daun lengkuas ternyata bersifat toksik terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti. Perlakuan efektif terjadi pada konsentrasi 0,98% dan waktu 8 jam. Sementara Muhaeni (2007), juga meneliti tentang pengaruh air rendaman gadung terhadap Anopheles aconitus dan bersifat toksik dengan nilai LC-50 36,63% setelah 24 jam. Selain itu, dilaporkan pula bahwa kulit jengkol berpotensi sebagai insektisida botani. Adalah Tjokronegoro; et.al (1989) yang mengamati para petani Ciwidey pernah menggunakan ekstrak air biji jengkol didorong oleh rasa frustasi menghadapi serangan hama wereng coklat.
Jengkol merupakan tanaman yang memiliki tinggi 5-15 m, dengan ranting menggantung. Tanaman ini memiliki tangkai daun utama dan poros sirip dengan satu kelenjar atau lebih dan berambut. Bentuk daun elips atau bulat telur terbalik miring dengan ujung tumpul 1,5-5 x 1-2,5 cm. Bunga beraturan, berbilangan lima. Bongkol berbunga 15-25 pada ujung ranting dalam malai. Kelopak bergigi sampai berlekuk. Tabung mahkota berbentuk corong, dari luar berambut. Benang sari banyak, panjang lebih kurang 1 cm; tangkai sari pada pangkal bersatu menjadi tabung. Bakal buah berambut, bertangkai, merah. Polongan bulat silindris, seringkali bengkok atau menggulung dalam 1-2 puntiran, diantara biji seringkali menyempit, panjang 6-12 cm, lebar 1 cm. Biji 1-10 mengkilap berwarna hitam dengan selumbung biji putih atau ros yang tidak sempurna (Steenis; 1975).
Sementara itu, dari hasil penelitian Rahayu dan Pukan (1998) diungkapkan kalau kandungan senyawa kimia dalam kulit jengkol yaitu: alkaloid, terpenoid, saponin dan asam fenolat. Asam fenolat ini di dalamnya termasuk flavonoid dan tanin. Tanin ini terdapat pada berbagai tumbuhan berkayu dan herba, berperan sebagai pertahanan tumbuhan dengan cara menghalangi serangga dalam mencerna makanan. Serangga yang memakan tumbuhan dengan kandungan tanin tinggi akan memperoleh sedikit makanan, akibatnya akan terjadi penurunan pertumbuhan (Howe & Westley; 1988). Inilah peluang untuk Ekstra kulit jengkol atasi jentik DBD.
Untuk senyawa saponin, termasuk dalam golongan triterpenoid. Golongan ini terdapat pada berbagai jenis tumbuhan, dan bersama-sama dengan subtansi sekunder tumbuhan lainnya berperan sebagai pertahanan diri dari serangan serangga, karena saponin yang terdapat pada makanan yang dikonsumsi serangga dapat menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerap makanan (Applebaum; 1979, Ishaaya; 1986). Sementara itu, Smith (1989) menyatakan bahwa alkaloid, terpenoid, dan flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksik.
Terkait dengan itu, Nurchasanah (2004) membagi insektisida berdasarkan cara masuknya ke dalam tubuh serangga menjadi tiga kelompok, yaitu: racun perut, racun kontak, dan racun pernapasan. Menurut Tarumingkeng (1992), racun perut ini menyerang organ utama pencernaan serangga, yaitu bagian ventrikulus. Ventrikulus merupakan bagian saluran makanan sebagai tempat penyerapan sari-sari makanan. Insektisida yang terserap bersama sari-sari makanan selanjutnya akan diedarkan ke seluruh bagian tubuh serangga oleh haemolimfe.
Ekstra kulit jengkol atasi jentik DBD. Bahan aktif dari kulit jengkol seperti alkaloid, terpenoid, saponin, dan asam fenolat dapat digunakan sebagai larvasida dengan cara mengekstrak kulit jengkol. Kulit jengkol digiling sampai berupa simplisia. Lalu, simplisia direbus dan dimaserasi selama tiga hari. Hasil maserasi disaring digunakan sebagai larutan ekstrak air kulit jengkol (Harborne; 1987). Dalam hal ini, pelarut yang dipakai adalah menggunakan air biasa, karena dapat dengan mudah diperoleh dan mudah untuk pembuatan ekstrak. Hasilnya, kemampuan ekstrak air kulit jengkol dalam mengendalikan populasi Aedes aegypti dapat diamati melalui kemampuannya menurunkan indeks pertumbuhan jentik Aedes aegypti.