Cara Pengendalian Penyakit Malaria
Cara pengendalian penyakit malaria, selain dengan usaha pengendalian pada vektor nyamuknya, juga dilakukan melalui usaha pengobatan dan vaksin malaria. Akhirnya, setelah sekian lama menunggu, penggunaan vaksin untuk malaria. Tujuannya, untuk menekan angka kematian akibat komplikasi malaria yang ditimbulkan. Pada 6 Oktober 2021, Badan Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menyetujui dan merekomendasikan vaksin Mosquirix (RTS,S/AS01) untuk penanganan penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles tersebut.
Oleh: Arda Dinata
In SANITARIAN – Malaria pada umumnya dapat ditularkan secara alamiah dan tidak alamiah. Penularan secara alamiah (natural infection), malaria ditularkan oleh nyamuk anopheles. Nyamuk anopheles ini jumlahnya lebih dari 80 jenis, dan dari 80 jenis itu hanya kurang lebih 16 jenis yang menjadi vektor penyebar malaria di Indonesia. Untuk itu, kita perlu melakukan cara pengendalian penyakit malaria ini.
Adapun penularan secara tidak alamiah, meliputi:
(a) Malaria bawaan (congenital). Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria. Penularan terjadi melalui tali pusat atau placenta. Malaria congenital lebih sering terjadi pada kehamilan pertama pada kelompok masyarakat yang imunitasnya kurang (Susana; 2011).
(b) Secara mekanik. Penularan terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik. Penularan banyak terjadi pada morfinis yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril.
(c) Secara oral (melalui mulut). Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam (P. gallinasum), burung dara (P. relection) dan monyet (P. knowlesi).
Pengendalian Malaria
Usaha cara pengendalian penyakit malaria, sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang sebenarnya beracun dan menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan Jerman berhasil menemukan Atabrine (quinacrine hydrocloride) yang pada saat itu lebih efektif daripada quinine dan kadar racunnya lebih rendah.
Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-jenis malaria dibandingkan dengan Atabrine atau quinine. Obat tersebut juga mengandung kadar racun paling rendah daripada obat-obatan lain yang terdahulu dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan secara terus menerus.
Namun, saat ini strain Plasmodium falciparum, organisme yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Vietnam, dan juga di semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan. Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain Plasmodium falciparum.
Seiring dengan munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, fakta bahwa beberapa jenis nyamuk pembawa (Anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap insektisida seperti DDT telah meng-akibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di beberapa negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria juga mengalami peningkatan pada para turis dari Amerika dan Eropa Barat yang datang ke Asia dan Amerika Tengah dan juga diantara pengungsi-pengungsi dari daerah tersebut. Para turis yang datang ke tempat yang dijangkiti oleh penyakit malaria yang tengah menyebar, dapat diberikan obat anti malaria seperti profilaksis (obat pencegah).
Obat-obat pencegah malaria seringkali tetap digunakan hingga beberapa minggu setelah kembali dari bepergian. Mefloquine telah dibuktikan efektif terhadap strain malaria yang kebal terhadap klorokuin, baik sebagai pengobatan atau-pun sebagai pencegahan.
Namun obat tersebut saat ini tengah diselidiki apakah dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. Suatu kombinasi dari sulfadoxine dan pyrimethamine digunakan untuk pencegahan di daerah-daerah yang terjangkit malaria yang telah kebal terhadap klorokuin. Sementara Proguanil digunakan hanya sebagai pencegahan. Untuk itu harus dicari cara pengendalian penyakit malaria yang lain agar lebih berhasil.
Beberapa vaksin yang dinilai memenuhi syarat kini tengah diuji coba klinis guna keamanan dan keefektifan. Sementara ahli lainnya, tengah berupaya untuk menemukan vaksin untuk penggunaan umum.
Akhirnya, setelah sekian lama menunggu, penggunaan vaksin untuk malaria. Tujuannya, untuk menekan angka kematian akibat komplikasi malaria yang ditimbulkan. Pada 6 Oktober 2021, Badan Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menyetujui dan merekomendasikan vaksin Mosquirix (RTS,S/AS01) untuk penanganan penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles tersebut.
Selain itu, penyelidikan tengah dilakukan untuk menemukan sejumlah obat dengan bahan dasar artemisin, yang digunakan ahli obat Cina untuk menyembuhkan demam. Bahan itu terbukti efektif terhadap Plasmodium falciparum, namun masih sangat sulit untuk diperbanyak jumlahnya.