Pendekatan Entomologis dan Perilaku Masyarakat Dalam Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Barat
4. Pengalaman mengimplementasikan perilaku bisa menjadikannya sebuah kebiasaan, sehingga niat menjadi kurang penting dalam menentukan kinerja perilaku individu.
Berdasarkan model perilaku terintegrasi itu, niat berperilaku ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: attitude, perceived norms, dan personal agency.11
(a) Sikap (Attitude). Diartikan sebagai keseluruhan kesukaan atau ketidaksukaan seseorang dalam mengimplementasikan perilaku tertentu. Keberadaan sikap ini sebagai gabungan dari dimensi afektif dan kognitif. Ada dua macam sikap seseorang itu, yaitu experiential dan instrumental. Sikap experiential ini merupakan respon emosional individu terhadap ide dalam menanggapi sebuah rekomendasi perilaku. Individu dengan respon emosional negatif kuat terhadap perilaku yang direkomendasikan tidak mungkin akan melakukan itu, sedangkan pada mereka dengan reaksi emosional yang kuat positifnya lebih mungkin untuk terlibat didalamnya. Untuk sikap instrumental sendiri berdasarkan pada kognitif, ditentukan oleh keyakinan tentang hasil kinerja perilaku, seperti dalam TRA/ TPB.
(b) Keyakinan norma (Perceived norm). Keyakinan norma ini merefleksikan suatu tekanan atau pengaruh sosial yang membuat seseorang merasa perlu atau tidak melakukan perilaku yang diharapkan atau direkomendasikan. Faktor ini dibentuk oleh dua sub faktor yaitu injunctive norm dan descriptive norm.
Injunctive norm (keyakinan normatif) ialah sejauh mana harapan yang dipikirkan orang lain (jejaring sosial yang penting bagi orang tersebut) terhadap perilaku yang diharapkan. Descriptive norm ialah norma yang mengacu pada persepsi dalam sebuah kelompok masyarakat atau jejaring pribadinya melakukan perilaku yang dimaksud.
(c) Personal agency, diartikan sebagai kemampuan individu untuk memulai dan memberikan alasan melakukan sebuah perilaku. Personal agency terdiri dari sub faktor self efficacy (keyakinan seseorang mampu mengerjakan tugas atau sebuah perilaku) dan perceived control (keyakinan seseorang bahwa perilaku yang dimaksud itu mudah atau sulit dikerjakan).
Selain ketiga variabel tersebut, dalam IBM ditambahkan variabel knowledge and skill (pengetahuan dan keterampilan), kebiasaan, environmental constraint (keterbatasan lingkungan) dan salience of behaviour (perilaku yang menonjol). Faktor-faktor ini muncul karena terkadang individu sudah memiliki niatan untuk berperilaku namun karena ada keterbatasan/ hambatan yang disebabkan kondisi lingkungan dan keterampilan yang dimiliki, sehingga perilaku yang diharapkan tidak terjadi.
Berdasarkan uraian teori IBM tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku tertentu akan terjadi bila seseorang memiliki niat yang kuat disertai dengan pengetahuan dan keterampilan untuk berperilaku, tidak terdapat hambatan dari lingkungan yang mencegah implementasi perilaku, perilaku tersebut menonjol, dan seseorang telah terbiasa melakukan perilaku tersebut.
Pada konteks pengendalian vektor DBD, keberadaan semua komponen itu penting untuk dipertimbangkan ketika merancang beberapa intervensi untuk mempromosikan perilaku kesehatan di masyarakat. Sebagai contoh, jika seorang memiliki niat yang kuat untuk melakukan pengendalian DBD, penting untuk memastikan bahwa dia telah memiliki cukup pengetahuan mengenai penyakit DBD dan upaya cara pengendaliannya.
Untuk bertindak atas niat ini harus didukung dengan tidak ada kendala dan hambatan dari lingkungan. Sebagai contoh untuk memutus kontak antara nyamuk dengan manusia, maka kondisi lingkungan harus mendukung terhadap program PSN 3M Plus.
Hal tersebut, sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Sayavong C, et al terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku preventif (KAP) orang dewasa dalam kaitannya dengan tindakan pengendalian vektor DBD di masyarakat di Vientiane (ibukota Laos), hasilnya menunjukkan ada 51,69% responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi. Lebih dari 94% responden tahu bahwa demam berdarah adalah penyakit menular yang berbahaya dan demam berdarah ditularkan dari orang ke orang melalui nyamuk. Lebih dari setengah (56,52%) memiliki sikap positif terhadap langkah pengendalian vektor, dan 52,17% menunjukkan tingkat tinggi perilaku preventif dalam hal langkah-langkah pengendalian vektor DBD.10
Terkait analisis berdasarkan pada perilaku masyarakatnya, menurut Endang Puji Astuti, selain akibat tata guna lahan, kondisi permukiman, sanitasi rumah, faktor lain yang berperan terhadap keberadaan jentik ialah perilaku masyarakat. Seperti diungkapkan di atas bahwa Aedes aegypti termasuk nyamuk “rumahan” sehingga peran masyarakat di sini sangat berkaitan langsung dengan ada/tidaknya jentik di rumah atau di lingkungan permukiman. Peran individu dalam membersihkan rumah, kontrol kondisi kontainer air apakah ada jentik atau tidak, membersihkan kontainer air agar tidak menjadi sarang nyamuk masih perlu difokuskan.
Pada umumnya masyarakat lebih fokus memperhatikan kontainer air di dalam rumah yang masih terpakai, padahal kontainer air yang sudah tidak terpakai atau terletak di luar rumah juga berisiko. Jika kontainer bekas terisi air misal ketika musim hujan akan berpotensi sebagai peletakan telur nyamuk dan perkembangbiakan nyamuk pra dewasa/jentik – pupa.
Berdasarkan data survei entomologi, dilaporkan bahwa salah satu faktor penyebab kasus penyebaran penyakit DBD meninggi dan terjadi sepanjang tahun adalah akibat Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat yang masih kurang. Ini bisa dilihat dari masih banyaknya genangan air dan kontainer potensial sebagai tempat perkembangbiakan vektor DBD yang ditemukan di permukiman masyarakat.13 Dalam hal ini, Endang Puji Astuti mencontohkan dengan banyak ditemukannya jentik di barang bekas (sampah), barang terbengkalai, pot bunga yang ada tampungan air, dan beberapa barang yang mampu menampung air lainnya. Penularan DBD harus dilakukan secara bersama-sama karena jarak terbang nyamuk Aedes aegypti sekitar 100-150 meter dan nyamuk ini tidak mengenal batas wilayah. Misalnya, rumah “A” sudah bersih namun jika rumah tetangganya tidak bersih maka tetap akan berisiko untuk tertular pada keluarga “A” sehingga menjaga kebersihan atau mengendalikan nyamuk vektor ini perlu dilakukan secara bersama-sama dalam suatu lingkungan. Hal lain yang juga perlu di waspadai adalah sarana tempat umum seperti sekolah, taman, GOR dll.
Sementara itu, menurut Rohmansyah Wahyu Nurindra, Antropolog di Badan Litbangkes Kemenkes RI, dalam menyikapi kasus DBD di Provinsi Jawa Barat, ditinjau dari aspek ilmu perilaku dan perubahan sosial menyebutkan bahwa perubahan perilaku yang terjadi di masyarakat dimulai dari perubahan pola perilaku yang terjadi di keluarga. Saat ini lebih banyak istri yang juga bekerja, otomatis pekerjaan domestik rumah tangga digantikan oleh asisten rumah tangga, keluarga lain (orangtua, saudara, dll.) yang dikerjakan seperlunya atau bahkan tidak dikerjakan.
Pola pada rumah tangga sebelumnya adalah ketika istri sebagai pelaku utama pekerjaan domestik, dibantu suami dan anak-anak. Sekarang perannya berkurang/membebankan pada pembanu rumah tangga (PRT), sehingga kepeduliannya menjadi berkurang karena beban kerja PRT yang begitu banyak. Perubahan pola di keluarga dengan kepala keluarga (KK) & ibu rumah tangga (IRT) yang lebih banyak menghabiskan waktu di tempat bekerja, hubungan sosial dengan tetangga/ lingkungan berkurang (sehingga kebiasaan gotong royong berkurang).
Selain itu, masyarakat kecenderungan bersifat individualistis, sehingga tokoh-tokoh masyarakat kesulitan menggerakkan untuk hal-hal kebaikan di lingkungan masyarakat (partisipasinya berkurang). Awareness pada DBD yang kurang karena merasa bisa mengatasi sendiri (dengan pergi ke dokter, RS, dll). Adanya pemahaman yang kurang tentang DBD yang sebenarnya itu seperti apa? Sehingga tidak ada “rasa takut” pada penyakit ini. Ada kecenderungan urusan sakit/penyakit itu adalah urusan pemerintah, sehingga ketika ada kasus yang menimpa lebih mudah untuk mencari kambing hitam (ke pemerintah).
Generasi saat ini lebih menyukai hal-hal yang bersifat “instan” karena dianggap praktis, tanpa melihat efek jangka panjangnya. Kebiasaan “serba instan” ini melanggengkan hal-hal yang sifatnya pada masa lalu adalah “urusan politik”.
Contohnya adalah fogging. Dahulu dilakukan fogging dengan tidak benar pun sudah bisa menyamankan kehidupaan di masyarakat. Pada saat ini, hal seperti fogging masih bisa digunakan sebagai kekuatan politik di masyarakat. Hal ini, sederhananya merupakan pemanipulasian “rasa aman” di masyarakat.
Itulah paparan terkait pendekatan entomologis dan perilaku masyarakat dalam pengendalian vektor.
Kesimpulan
Untuk dapat mencapai hasil yang maksimal dalam pengendalian DBD dengan pendekatan epidemiologis, maka sebelumnya perlu dilakukan analisis yang cermat terhadap perilaku masyarakat agar dapat menentukan komponen-komponen yang paling penting untuk menargetkan promosi perilaku terkait program DBD.
Strategi yang berbeda-beda diperlukan untuk menghadapi perilaku yang berbeda. Begitu pun untuk perilaku yang sama di tempat yang berbeda, maka perlu pengaturan yang berbeda pula.
Tepatnya, niat berperilaku yang kuat dalam upaya pengendalian DBD diperlukan untuk intervensi menghadapi komponen dalam teori IBM, seperti keterampilan, pengetahuan, dan hambatan lingkungan yang mempengaruhi kinerja perilaku pengendalian DBD. Pendekatan teori IBM ini merupakan alat untuk memprediksi perubahan perilaku seseorang.
Oleh karena itu, dalam menggunakan teori IBM, perencana program pengendalian DBD harus mempertimbangkan semua konstruksi yang membangun teori IBM itu. Apabila ada salah satu konstruksi yang tidak bisa ditentukan atau diubah, maka teori IBM tidak akan berfungsi.
Semoga informasi tentang Pendekatan entomologis dan perilaku masyarakat dalam pengendalian vektor demam berdarah dengue (DBD) di Provinsi Jawa Barat ini bermanfaat. Salam sehat dan sukses selalu.***
Daftar Pustaka
- Manalu HSP dan Amrul M. Communities Knowledge and Behavior In Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) Prevention In West Java and West Kalimantan. Jurnal Aspirator Vol. 8 No. 2, Desember 2016: pp. 69-76.
- IKI/RAM/REK. Demam Berdarah: 4 Bulan, 18 Nyawa Terenggut. Jakarta: HU. Kompas, edisi 15 Januari 2016.
- Yusuf Adji. Demam Berdarah Telan Korban Jiwa. Bandung: HU. Pikiran Rakyat, edisi 4 Februari 2016.
- Nurhandoko Wiyoso. Kasus DBD di Ciamis Naik 100 Persen. Bandung: HU. Pikiran Rakyat, edisi 19 April 2016.
- Mayer SV, Tesh RB, Vasilakis. The Emergence of Arthropod-Borne Viral Diseases: A Global Prospective on Dengue, Chikungunya and Zika Fevers. Journal Acta Tropica 166 (2017): pp. 155-163. DOI: 10.1016/j.actatropica. 2016.11.020.
- Yacoub S, Bridget W. Predicting Outcome From Dengue. Jurnal BMC Medicine 2014, 12: 147. DOI: 10.1186/ s12916-014-0147-9.
- Tang B, Xiao Y, Tang S, Wu J. Modelling Weekly Vector Control Against Dengue in The Guangdong Province of China. Journal of Theoretical Biology, 410. 2016: pp. 65-76. DOI:10.1016/ j.jtbi.2016.09.012.
- Ariati J, Musadad AD. Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Faktor Iklim di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal Ekologi Kesehatan, Volume 11 Nomor 4 Desember 2012.
- Trapsilowati W, Sugeng JM, Yayi SP, Totok M. Community Participation For Dengue Hemorrhagic Fever Vector Control In Semarang City, Central Java Province. Jurnal Vektora Volume 7 Nomor 1, Juni 2015: pp. 15-22.
- Sayavong C, Chompikul J, Wongsawass S, Rattanapan C. Knowledge, Attitudes and Preventive Behaviors Related to Dengue Vector Breeding Control Measures Among Adults in Communities of Vientiane, Capital of The Lao PDR. Journal of Infection and Public Health (2015) 8, pp. 466-473. DOI:10.1016/j.jiph.2015. 03.005.
- Blalon, S.J. Integrated Behavior Model. http://www.med.upenn.edu/hbhe4/part2-ch4-integrated-behavior-model.shtml?3 (sitasi 2 Mei 2017).
- Glanz, Karen., Rimer B.K., Viswanath K. Theory at A Glance (A Guide For Health Promotion Practice) (2008). U.S. Departement of Health and Human Services.
- Heni Prasettyowati, Roy Nusa RES. Situasi dan Faktor Pendukung Penyebaran DBD di Kota Sukabumi. Dalam Buku Seputar Dengue dan Malaria (Editor Lukman Hakim). Bandung: CV. Media Akselerasi, Desember 2016.
❤oOo❤_
Untuk mendapatkan update tentang informasi terbaru dari www.Insanitarian.com, silahkan ikuti kami lewat media sosial di bawah ini:
Instagram: https://www.instagram.com/arda.dinata/
Facebook: https://web.facebook.com/Inspirasiarda
Anda tidak ingin ketinggalan informasi dari leman website In SANITARIAN INDONESIA di https://insanitarian.com/! Caranya klik whatsApp di bawah ini:
Silakan share informasi ini agar nilai manfaatnya bisa dirasakan para pembaca lainnya. Oke, saya tunggu juga tanggapannya di kolom komentar ya!
_❤oOo❤_
Arda Dinata, adalah kolomnis tetap di Sanitarian Indonesia (http://insanitarian.com). Aktivitas hariannya sebagai peneliti, sanitarian, dan penanggungjawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, tinggal di Pangandaran.
_❤oOo❤_
Nikmati tulisan lainnya di sini yang sesuai kategori:
- Biokimia
- Buku Kesehatan Lingkungan
- Dasar Kesling
- Entomologi
- Hyperkes
- Info Kesehatan
- Inspirasi Sanitarian
- Jurnal Kesehatan Lingkungan
- Kesehatan Lingkungan
- Lingkungan Fisik
- Majalah Inside
- Mikrobiologi
- Opini
- Parasitologi
- Pembuangan Tinja & Air Limbah
- Pengelolaan Sampah
- Pengembangan Profesi
- Penyehatan Air Minum
- Peraturan
- Promkes
- Renungan
- Rumah Sehat
- Sanitasi Makanan
- Sanitasi Rumah Sakit
- Sanitasi Tempat Umum
- Teknologi Tepat Guna
- Vektor dan Binatang Pengganggu
Arda Dinata adalah Penulis buku Strategi Produktif Menulis dan penulis kolom di
http://www.produktifmenulis.com,
https://www.miqraindonesia.com/