“Nyimbur” Ritual Adat Penangkal Pandemi
“Nyimbur”ritual adat penangkal pandemi:
Ketika diucapkan doa-doapun sang dukun mengakhiri dengan gerakan menyembur ke wadah air yang dipegangnya. Dari gerakan menyembur inilah ritual ini disebut dengan “nyimbur”. Setelah mengikuti ritual nyimbur, masyarakat meyakini bahwa anak-anak mereka akan terhindar dari penyakit yang dimaksud.
Oleh: Rohmansyah Wahyu Nurindra
In SANITARIAN – “Nyimbur” ritual adat penangkal pandemi: Saat ini COVID-19 sedang menjadi pandemi di seluruh dunia. Penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini sudah merenggut jutaan nyawa manusia di seluruh dunia. Upaya pencegahan agar penyakit ini tidak terus merajalela salah satunya adalah dengan vaksinasi. Vaksin COVID-19 mampu mencegah seseorang terkena virus SARS-CoV-2. Namun demikian, apabila tetap tertular COVID-19, vaksin dapat mencegah tubuh dari sakit parah atau potensi hadirnya komplikasi serius akibat dari penyakit tersebut.

Vaksin memberi manfaat yang penting bagi manusia. Vaksin adalah zat yang sengaja dibuat dan dimasukkan kedalam tubuh untuk merangsang pembentukan kekebalan tubuh dari penyakit tertentu. Kata vaksinasi berasal dari bahasa latin yaitu vacca yang berarti sapi. Hal tersebut dikarenakan vaksin pertama kali berasal dari virus yang menginfeksi sapi. Vaksinasi dapat melindungi tubuh dari infeksi virus tertentu dengan menciptakan respons antibodi tanpa harus sakit karena virus tersebut.
Di masa pandemi COVID-19 saat ini, masyarakat adat di berbagai wilayah nusantara masih mempertahankan sistem medis tersendiri. Sama halnya dengan masyarakat modern yang menggunakan vaksin untuk mencegah penyakit, masyarakat adat mengembangkan sistem pencegahan penyakit tersendiri berdasarkan pengetahuan yang diturunkan dan dari nenek-moyang mereka. Salah satunya pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar di Gunung Halimun yang terletak di wilayah perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar masih mempertahankan dan mempraktekkan sendiri sistem medis yang diturunkan dari nenek moyang mereka, termasuk dalam upaya mereka menangkal pandemi COVID-19 saat ini.
Membicarakan tentang penyakit pada dunia medis lokal, dikenal dua macam sistem medis. Pertama yaitu sistem medis personalistik, di mana penyakit disebabkan oleh intervensi dari agen yang aktif berupa; makhluk supernatural (gaib – dewa), makhluk bukan manusia (hantu, roh leluhur dan roh jahat), dan manusia (tukang sihir atau tukang tenung). Kedua adalah sistem medis naturalistik, di mana penyakit disebabkan terganggunya keseimbangan dari unsur-unsur yang tetap dalam tubuh, seperti panas, dingin, serta cairan tubuh.
Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memahami timbulnya suatu penyakit adalah berasal dari gangguan hal-hal yang “tidak terlihat”. Mereka menyebut penyakit ini sebagai “panyakit nu teu kenging disebat” (penyakit yang tidak boleh disebut). Mereka memiliki ritual khusus sebagai pencegahan agar tidak terkena penyakit jenis ini. Pengobatan untuk sistem medis personalistik ini ditangani oleh pengobat (dukun) laki-laki sementara penanganan sakit/penyakit naturalistik adalah oleh pengobat (dukun) perempuan.
“Siapa saja.. dari golongan apa saja.. yang berniat mau mengganggu.. silahkan pergi.. jangan mengganggu”
Sejak pagi, dukun laki-laki sudah bersiap di lapangan. Sementara itu, ibu-ibu di desa juga sudah membawa anak balitanya ke lapangan desa. Hari itu di Kasepuhan Ciptagelar akan dilakukan ritual adat nyimbur. Memang, pada setiap pelaksanaan upacara adat di kasepuhan ini, “nyimbur” selalu ada sebagai bagian dari rangkaian upacara adat. Namun ada yang berbeda dari biasanya, nyimbur kali ini dilakukan khusus ketika wabah COVID-19 sedang merajalela. Maksud dari nyimbur kali ini adalah untuk mencegah penyakit tersebut jangan sampai menulari anak-anak di kasepuhan mereka.
Sang dukun sudah menyiapkan air untuk melakukan ritual nyimbur. Ketika sudah waktunya, sang dukun mulai melakukan ritualnya. Satu persatu anak dibawa oleh ibunya menemui sang dukun. Kemudian air yang sudah disiapkan diberi doa-doa, diputar di antara pinggang sang dukun sebanyak dua kali putaran dengan arah dari kanan ke kiri. Kemudian air sedikit disemburkan kepada anak yang dibawa. Ketika diucapkan doa-doapun sang dukun mengakhiri dengan gerakan menyembur ke wadah air yang dipegangnya. Dari gerakan menyembur inilah ritual ini disebut dengan “nyimbur”. Setelah mengikuti ritual nyimbur, masyarakat meyakini bahwa anak-anak mereka akan terhindar dari penyakit yang dimaksud.
Hal menarik lainnya dari ritual ini adalah setiap ibu yang datang membawa anaknya untuk mengikuti ritual, juga membawa “tumpangan” sebagai kelengkapan syarat dilakukan ritual ini. Tumpangan adalah bawaan berupa sejumlah hasil bumi seperti daun sirih (piper betle), daun hanjuang (cordyline), atau kemenyan (benzoin/olibanum) yang kemudian diberikan kepada sang dukun. Namun sejalan berjalannya waktu, hasil bumi itu saat ini lebih sering digantikan dengan sejumlah uang. Tumpangan ini bukanlah bayaran atas jasa dari sang dukun, tetapi memang salah satu syarat yang harus ada dalam melakukan ritual.