HyperkesLingkungan Fisik

Mewujudkan Budaya Ramah Lingkungan Dalam Berkendaraan

Mewujudkan budaya ramah lingkungan dalam berkendaraan: SETIAP tanggal 5 Juni kita memperingati hari lingkungan hidup dan saat itulah para aktivis lingkungan mencoba memberi pencerahan kesadaran terhadap manusia yang mendiami bumi ini. Salah satu kesadaran yang perlu dipahami berkait permasalahan lingkungan saat ini adalah permasalahan pencemaran udara dari kendaraan bermotor yang kondisinya makin memprihatinkan.

Oleh: Arda Dinata

In SANITARIANKita semua sadar betul bahwa selama hidup tentu membutuhkan udara untuk bernapas. Udara di dalamnya terkandung sejumlah oksigen. Ia merupakan komponen esensial bagi kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Udara merupakan campuran dari gas yang terdiri dari 78 % nitrogen, 20 % oksigen, 0,93 % argon, 0,03 % karbon dioksida dan sisanya terdiri dari neon, helium, metan dan hidrogen. Komposisi seperti itu dibilang sebagai udara normal dan dapat mendukung kehidupan manusia.

Namun akibat aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan, kondisi udara sering kali menurun kualitasnya. Perubahan ini dapat berupa sifat-sifat fisis maupun kimiawi. Perubahan kimiawi dapat berupa pengurangan maupun penambahan salah satu komponen kimia yang terkandung dalam udara. Kondisi seperti itu orang lazim menyebutnya dengan pencemaran (polusi) udara.

Kondisi pencemaran udara di beberapa kota Indonesia sudah mencapai taraf yang cukup membahayakan. Itulah sebabnya Jakarta menempati peringkat ketiga dalam hal polusi udara terkotor sedunia, setelah Mexico City dan Bangkok. Hal ini dapat terlihat dengan meningkatnya indeks terganggunya kenyamanan dan kesehatan masyarakat di ibu kota. Dan menurut Isna Marifat M.Sc, Ketua Penyelenggara Segar Jakartaku, 70 persen pencemaran udara Jakarta disebabkan oleh kendaraan bermotor. Adapun jumlah kendaraan di Jakarta berdasarkan data tahun 2002 telah mencapai hampir 3,5 juta unit kendaraan sehingga beban pencemaran udara yang ditimbulkan cukup signifikan. Pencemaran udara yang paling tinggi terdapat di ruas-ruas jalan yang paling padat lalu lintasnya dan rawan kemacetan.

Kualitas Udara

Kita menyadari kalau hasil pembakaran bahan kendaraan bermotor itu, selain menghasilkan energi untuk menggerakkan mesin juga menghasilkan beberapa bahan beracun dan berbahaya ke udara. Antara lain, berupa nitrogen dioksida (NO2), karbon monoksida (CO), timbal oksida (PbO), sulfur dioksida (SO2), dan hydrokarbon. Untuk itu, perlu upaya mewujudkan budaya ramah lingkungan dalam berkendaraan.

BACA JUGA:  Bentuk Pengelolaan Limbah Medis RS

Berkaitan dengan itu, beberapa tahun ke belakang sebelum arus kendaraan sepadat saat ini, di Kota Bandung telah dilakukan pengukuran terhadap kualitas udaranya. Seperti diteliti oleh Dr. Nani Djuangsih (1998) di sekitar 80 lokasi di Kota Bandung telah dilakukan pengukuran kandungan NO2 secara pasif (1989-1996) dan pengukuran secara aktif meliputi parameter NO2, CO, SO2, debu dan tingkat kebisingan yang dilakukan di lokasi-lokasi tertentu yang mewakili daerah padat transportasi seperti Jl. Soekarno-Hatta, Sindangpalay, Mohammad Toha, Kopo, Pasir Koja, Cibadak, Panghegar, Cicaheum, Kebon Kelapa, Arjuna dan IPTN.

Hasil pengukuran NO2 secara pasif yang dilakukan pada 1989-1996, didapat adanya kecenderungan pergeseran peningkatan konsentrasi NO2 dan jumlah lokasi tercemar NO2, misalnya pada tahun 1996 terdapat tiga lokasi yang kandungan NO2 di udaranya telah melampaui batu mutu, yakni 92,5 mg/m3 —mikrogram/meterkubik—, pada tahun sebelumnya tidak terjadi. Keadaan ini ada korelasinya dengan peningkatan jumlah kendaraan yang merupakan penyumbang terbesar dalam pencemaran NO2 di udara.

Hasil pengukuran dengan metoda aktif untuk kandungan NO2 di Soekarno-Hatta pada tahun 1995 (96,6 mg/m3), Terminal Cicaheum dan Kebon Kelapa pada tahun 1995-1996 masing-masing berkisar 98,2-103 mg/m3 dan 93,5-95,8 mg/m3. Keadaan tersebut menurut Keputusan Menteri KLH No. 02/Men-KLH/I/1998 sudah melampaui baku mutu yang diperkenankan (92,5 mg/m3).

Sementara itu, kandungan SO2 di tiap-tiap tempat pengamatan berkisar dari tidak terdeksi sampai 16,71 mg/m3. Dengan demikian, keadaan ini masih jauh dari baku mutunya (620 mg/m3). Kandungan CO berkisar antara 155-980 mg/m3. Dari hasil pemantauan didapat bahwa kandungan CO di Terminal Cicaheum dan Kebon Kelapa, IPTN, Soekarno Hatta harus diwaspadai karena konsentrasinya hampir mendekati baku mutunya.

Kondisi saat ini tentu sudah jauh berbeda dan penulis berkeyakinan kondisinya sudah meningkat, pasalnya di beberapa daerah tersebut kemacetan kendaraan kerap kali terjadi dan terbilang merupakan jalur padat kendaraan di kota Bandung.

Adapun persentase HbCO pada darah masyarakat Kota Bandung berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus dari Landis dan Yu (1995) adalah berkisar 1,33-17,5 persen. Artinya pada konsentrasi HbCO 1,33 persen belum menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan. Pada konsentrasi 17,5 persen dapat menimbulkan gangguan persepsi penglihatan, keterampilan, belajar, dan gangguan intelektual yang khusus. Sedangkan konsentrasi HbCO 20-30 persen dapat menimbulkan kelemahan pada kaki, dan kadang-kadang mual serta muntah.

BACA JUGA:  Teknologi Pengendalian Banjir

Dampak Kesehatan

Menurut David Kuper, Kepala Perwakilan Swisscontact dan Direktur Clean Air Project Jakarta, pencemaran udara berdampak negatif terhadap kesehatan, khususnya penyakit kardiovaskuler, tekanan darah tinggi, gangguan kejiwaan, kanker dan penurunan IQ pada anak-anak. “Biaya kesehatan akibat pencemaran udara mengalami peningkatan sekira 250 juta dolar AS per tahun,” katanya.

Lebih jauh, kondisi udara yang tercemar bisa membuat kesehatan kita memburuk dan terancam. Misalnya, adanya logam timbal yang keluar dari gas buangan kendaraan bermotor dapat masuk ke tubuh manusia melalui pernapasan dan kontak langsung. Keberadaan unsur timbal ini di dalam tubuh manusia menjadi racun penyerang syaraf yang dapat merusak pertumbuhan anak dan bisa menurunkan kepintaran (IQ) anak-anak.

Sementara itu, Posman Sibuea, Magister Sains Bidang Teknologi Pangan dari UGM Yogyakarta, mengungkapkan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya kontaminasi timbal pada lingkungan adalah pemakaian bensin bertimbal yang masih tinggi di Indonesia. Untuk mempermudah bensin premium terbakar, titik bakarnya harus diturunkan melalui peningkatan bilangan oktan dengan penambahan timbal dalam bentuk tetrail lead (TEL). Namun dalam proses pembakaran, timbal dilepas kembali bersama-sama sisa pembakaran lainnya ke udara dan siap masuk ke sistem pernafasan manusia.

Lebih lanjut diungkapkan Posman, di dalam tubuh manusia, timbal memulai turnya melalui saluran pernapasan atau saluran pencernaan menuju sistem peredaran darah. Melalui sistem peredaran darah menyebar ke berbagai jaringan lain seperti ginjal, hati, otak, syaraf, dan tulang. Keracunan timbal ini pada orang dewasa ditandai dengan gejala 3 P, yaitu pallor (pucat), pain (sakit), dan paralysis (kelumpuhan).

Bila dalam darah anak-anak ditemukan kadar timbal tiga kali batas normal (asupan normal sekitar 0,3 miligram per hari) menyebabkan penurunan IQ di bawah 80. Kelainan fungsi otak terjadi karena timbal secara kompetitif menggantikan peranan mineral-mineral utama seperti seng, tembaga, dan besi dalam mengatur fungsi sistem syaraf pusat. Yang pada gilirannya akan mengurangi peluang anak untuk berprestasi di sekolah.

BACA JUGA:  Lempung Sebagai Nenek Moyang Manusia

Atas dasar itu, maka perlu mewujudkan budaya ramah lingkungan dalam berkendaraan. Inilah salah satu usaha untuk menyelamatkan generasi mendatang dari bahaya pencemaran udara tersebut.

Budaya Ramah Lingkungan

Terjadinya pencemaran udara, tentu harus segera ditanggulangi dengan melakukan pencegahan sedini mungkin agar tidak terjadi kesakitan pada manusia. Dalam melakukan pencegahan secara tepat bergantung pada sifat dan sumber polutan udara. Pada dasarnya caranya dibedakan menjadi mengurangi polutan dengan alat-alat, mengubah polutan, melarutkan polutan, dan mendispersikan polutan. Di sinilah perlunya mewujudkan budaya ramah lingkungan dalam berkendaraan.

Menurut dr.drh. Mangku Sitepoe (1997), ada lima dasar dalam mencegah atau memperbaiki pencemaran udara berbentuk gas. Pertama, absorbsi. Melakukan solven yang baik untuk memisahkan polutan gas dengan konsentrasi yang cukup tinggi. Biasanya absorbennya air, tetapi kadang-kadang dapat juga tidak menggunakan air (dry absorben).

Kedua, adsorbsi. Mempergunakan kekuatan tarik-menarik antara molekul polutan dan zat adsorben. Dalam proses adsorbsi dipergunakan bahan padat yang dapat menyerap polutan. Berbagai tipe adsorben antara lain karbon aktif dan silikat.

Ketiga, kondensasi. Dengan kondensasi dimaksudkan agar polutan gas diarahkan mencapai titik kondensasi, terutama dikerjakan pada polutan gas yang bertitik kondensasi tinggi dan penguapan yang rendah (hidrokarbon dan gas organik lain).

Keempat, pembakaran. Mempergunakan proses oksidasi panas untuk menghancurkan gas hidrokarbon yang terdapat di dalam polutan. Hasil pembakaran berupa karbon dioksida dan air. Adapun proses pemisahannya secara fisik dikerjakan bersama-sama dengan proses pembakaran secara kimia.

Arda Dinata

*Arda Dinata, adalah kolomnis tetap di Sanitarian Indonesia (http://insanitarian.com). Aktivitas hariannya sebagai peneliti, sanitarian, dan penanggungjawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, tinggal di Pangandaran.

Tinggalkan Balasan

error: