Survei Evaluasi Prevalensi Lymphatic Filariasis di Kabupaten Subang
Survei evaluasi prevalensi lymphatic filariasis di Kabupaten Subang
Kabupaten Subang telah lulus Transmission Assessment Survey (TAS), setelah POPM tahun 2011-2015. Penelitian ini untuk mengevaluasi program eliminasi filariasis pasca–POPMsampai dengan tercapainya sertifikasi eliminasi filariasis.
Oleh: Endang Puji Astuti, Yuneu Yuliasih, Andri Ruliansyah,Mutiara Widawati, Wawan Ridwan Loka Litbangkes Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI Jalan Raya Pangandaran KM 3 desa Babakan Kecamatan Pangandaran, Pangandaran
Abstrak.
Kabupaten Subang telah lulus Transmission Assessment Survey (TAS), setelah POPM tahun 2011-2015. Penelitian ini untuk mengevaluasi program eliminasi filariasis pasca–POPMsampai dengan tercapainya sertifikasi eliminasi filariasis.
Survei pemeriksaan microfilaria di masyarakat dengan SDJ di desa sentinel (Curugrendeng) dan spot (Rancahilir) pada bulan Juli-Agustus 2017. Responden yang telah diperiksa SDJ sebagian besar perempuan (57,7%) dan termasuk pada rentang usia 5-55 tahun.
Hasil pemeriksaan SDJ pada 629 sampel di desa Curugrendeng dan Rancahilir tidak ditemukan adanya microfilaria dalam darah (0%). Kabupaten Subang tidak ditemukan adanya transmisi, tetapi kegiatan surveilans tetap harus dilaksanakan secara rutin agar tidak terjadi re-transmisi di wilayah yang telah melaksanakan POPM Filariasis.
Kata Kunci: Microfilaria, POPM, evaluasi, Subang
Survei evaluasi prevalensi lymphatic filariasis di Kabupaten Subang
Pendahuluan
Lymphatic Filariasis (LF) merupakan penyakit terabaikan (burden disease) yang kasusnya terlaporkan di wilayah tropis maupun subtropis. Penyakit ini merupakan penyakit tular vektor (nyamuk) dari berbagai genus yaitu Culex, Mansonia, Anopheles, Aedes dan Armigeres. Penyebab LF yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan B. timori1. Sejak tahun 2000, WHO telah mendeklarasikan The Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis (GPELF), seluruh negara berkomitmen untuk menghentikan penyebaran LF dan penatalaksanaan kasus kronis2.
Indonesia, merupakan wilayah endemis LF, sejak tahun 2002 Menteri Kesehatan RI telah mencanangkan program eliminasi filariasis. Secara nasional, tahun 2016 dilaporkan sebanyak 29 Provinsi (239 Kabupaten/Kota) merupakan wilayah endemis filariasis3. Bulan Oktober dicanangkan oleh Menteri Kesehatan sebagai BELKAGA (Bulan Eliminasi Kaki Gajah) yaitu secara serentak dilaksanakan minum obat filariasis secara massal di wilayah-wilayah endemis. Kabupaten/kota endemis LF yang telah melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) sebanyak 118 kabupaten/kota yang terdiri dari 88 wilayah telah menyelesaikan 5 tahun POPM4.
Evaluasi pelaksanaan POPM perlu dilakukan salah satunya adalah Pre-TAS (Transmission Assesment Survey) dan TAS 1-3 dengan jeda waktu setiap dua tahun sekali. Beberapa wilayah yang telah melaksanakan POPM maupun TAS, masih ada yang mengalami kegagalan yaitu terjadinya re-transmisi di wilayah tersebut. Berbagai faktor dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu wilayah dalam upaya eliminasi LF di wilayahnya. Kabupaten Subang merupakan wilayah endemis yang telah menyelesaikan POPM 5 tahun sejak 2011-2015 serta lulus TAS. Cakupan pengobatan di kabupaten Subang (Data Dinas kesehatan Subang tahun 2017) sudah mencapai target berdasarkan jumlah penduduk yaitu diatas 65% pada tahun 2012-2015, namun pada awal POPM tahun 2011 Kabupaten Subang masih rendah cakupannya yaitu 64,14%5. Sehingga, tujuan dari survei ini adalah melakukan evaluasi kegiatan program eliminasi filariasis pasca POPM dan TAS di Kabupaten Subang.
Bahan dan Metode
Survei evaluasi prevalensi lymphatic filariasis di Kabupaten Subang
Survei ini menggunakan desain cross sectional study (studi potong lintang) untuk mendapatkan data Microfilaria (Mf) Rate dan gejala klinis filariasis di Kabupaten Subang setelah dilakukan pengobatan selama 5 tahun (2011-2016) dan telah melaksanakan evaluasi TAS-1 (2017). Survei dilakukan di Desa Curugrendeng (sentinel) Kecamatan Jalan Cagak dan Desa Rancahilir (Spot) Kecamatan Pamanukan pada bulan Juli-Agustus 2017. Kedua wilayah terdapat penderita kronis dan Mf rate di desa sentinel diatas 1% sebelum dilaksanakan POMP Filariasis. Populasi penelitian adalah masyarakat Desa Curugrendeng dan Rancahilir. Jumlah sampel sebanyak 310 orang sehingga total dua desa adalah 620 responden. Kriteria responden berusia ≥ 5 tahun. Survei dilaksanakan mulai pukul 22.00 sampai 02.00 dini hari.
Proses pengambilan darah dilakukan disatu tempat yang lapang, responden/subyek penelitian yang datang mendaftar terlebih dahulu dan diurutkan sesuai kode sampel. Selanjutnya subyek penelitian akan diambil darah jari sebanyak 60 μl untuk sediaan apus tebal oleh petugas pengambil darah. Diteteskan darah dalam tabung kapiler di tiga titik pada permukaan kaca slide secara berseling (masing-masing titik 20 uL darah). Dengan tutup jarum penusuk, ratakan darah membentuk tiga. Sediaan darah yang ada pada kaca slide akan diproses oleh pemroses spesimen sampai sedian darah diperiksa dan disimpan pada kotak slide. Tahapan berikutnya adalah pewarnaan spesimen darah yang telah terkumpul, kemudian sediaan darah diperiksa untuk mengidentifikasi adanya microfilaria dalam darah sampel.
Hasil dan Pembahasan
Survei evaluasi prevalensi lymphatic filariasis di Kabupaten Subang
Kabupaten Subang telah berhasil menyelesaikan program POPM selama lima tahun (2011-2015) dan telah lulus evaluasi TAS tahap 1. Angka cakupan minum obat Kaki Gajah di Kabupaten Subang pada awal-awal pelaksanaan masih terbilang rendah dan dibawah target WHO dimana per jumlah penduduk (> 65%) dan per jumlah sasaran (> 85%), angka cakupan minum obat per jumlah penduduk tahun 2011 adalah 64,14% dan per jumlah sasaran 77,26%, namun angka cakupan minum obat terus meningkat pada tahun-tahun pengobatan selanjutnya sehingga pada tahun keempat dan kelima, persentasi angka cakupan minum obat telah diatas target WHO.
Pelaksanaan evaluasi filariasis di Kabupaten Subang (TAS) dilaksanakan selama 2 tahun sekali sebanyak tiga kali, tahap TAS terakhir (TAS-3) pada tahun 2021. Keberhasilan atau kelulusan pada setiap tahapan TAS ditentukan dengan menggunakan cut off point, jika ditemukan jumlah positif lebih dari cut off point dampaknya adalah adanya dilakuakn pengulangan pengobatan.
Kondisi tersebut akan menimbulkan kendala bagi kabupaten/kota karena besarnya biaya yang akan dikeluarkan, selain itu diperlukan sumber daya tenaga dan sarana pendukung lainnya. Pelaksanaan surveilans dalam proses evaluasi kegiatan POPM dan jeda menunggu tahapan TAS sangat diperlukan, diantaranya adalah pemeriksaan SDJ pada masyarakat terutama di wilayah sentinel.
Hasil pelaksanaan survei didapatkan 629 sampel yang terdiri dari 317 sampel berasal dari Desa sentinel (Curugrendeng) dan 312 sampel dari Desa spot (Rancahilir). Karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin, dominan perempuan dibandingkan responden laki-laki baik pada desa sentinel maupun spot. Prosentase jenis kelamin pada kedua desa lokasi survei sama yaitu 57,7% adalah responden perempuan dan 42,3 responden laki-laki (Tabel 1).
Beberapa studi melaporkan bahwa proporsi jenis kelamin laki-laki dominan positif microfilaria, proporsi laki-laki mempunyai risiko lebih besar dibandingkan dengan perempuan8,9. Perbedaan risiko pada jenis kelamin dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah perilaku masyarakat. Aktivitas di luar rumah pada malam hari ataupun bekerja di tempat-tempat yang berisiko seperti di pantai, kebun, hutan akan meningkatkan risiko terjadinya penularan filariasis10,11.
Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Subang 2017
Jenis kelamin | Desa Jalancagak | Desa Rancahilir |
Laki-Laki | 134 | 132 |
Perempuan | 183 | 180 |
Jumlah | 317 | 312 |
Selain jenis kelamin, karakteristik responden berdasarkan kelompok umur juga disajikan dalam Gambar 2. Sebagian besar berada pada kelompok umur 5 – 55 tahun yang bervariasi per kelompoknya. Desa sentinel (Curugrendeng) terbanyak responden berusia 5-15 tahun, sedangkan di Desa spot (Rancahilir) terbanyak adalah kelompok usia 36-45 tahun.
Hasil penelitian di beberapa wilayah endemis filariasis seperti di Jambi menunjukkan bahwa usia yang paling banyak positif microfilaria adalah usia > 56 tahun, namun semua kelompok usia diatas 5 tahun ditemukan pula positif microfilaria8. Hasil pemeriksaan SDJ di Oku Timur, Sumsel menunjukkan kelompok umur yang teridentifikasi positif microfilaria adalah kelompok umur 31-50 tahun9.
Usia-usia tersebut adalah usia produktif sehingga aktivitas keluar rumah atau mendekati lokasi berisiko (tempat habitat potensial nyamuk) lebih besar. Beberapa penderita kronis di Kabupaten Subang yang berjenis kelamin laki-laki juga mempunyai pekerjaan yang lebih banyak beraktivitas di luar rumah.
Pingback: DAFTAR ARTIKEL KESEHATAN - Inspirasi Sanitarian