Peran SDM Kesehatan dalam Menerapkan Kawasan Tanpa Rokok
Peran SDM Kesehatan dalam menerapkan kawasan tanpa rokok
Pelaksanaan kebijakan KTR tidak terlepas dari komitmen kepala daerah. Bentuk komitmen itu terlihat dari kegiatan pemantauan secara rutin serta pemberian sanksi kepada warga yang tidak mengindahkan peraturan tersebut. Sebagai contoh di Kota Padang Panjang, penerapan KTR ini sudah melarang adanya iklan rokok di sepanjang kota.
Oleh: Arda Dinata
Penggunaan tembakau menjadi masalah kesehatan global. Tembakau telah membunuh 100 juta jiwa selama abad ke 20. Kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia masih menimbulkan perdebatan panjang karena berbagai kepentingan, mulai dari hak asasi manusia seorang perokok, larangan merokok di tempat umum sampai dengan dampak antirokok terhadap perekonomian dan tenaga kerja di Indonesia.
Terkait rokok ini ada cerita menarik yang saya dapatkan dari group lini masa,
“Ternyata rokok itu, buat orang yang tidak bisa baca. Alkisah di sebuah pabrik rokok terbesar di Indonesia, bercakap-cakaplah seorang pegawai pabrik rokok dengan pemiliknya. Pembicaraannya bertema seputar rokok. Pegawai pabrik merasa heran, karena teryata pemilik pabrik tidak merokok.
Pegawai: “Bapak, kenapa kok tidak merokok sama sekali?”
Pemilik: “Loh, memangnya kenapa?”
Pegawai: “Kan Bapak pemilik pabrik rokok, kenapa malah tidak merokok?”
Pemilik: “Itu di bungkus rokok kan ada tulisannya: ‘Merokok dapat menyebabkan kanker, penyakit jantung, impotensi, gangguan kesehatan dan janin.’ Ngapain saya merokok kalau jadinya penyakitan.”
Pemilik: “Percuma jadi orang kaya kalo kena kanker, penyakit jantung, apalagi impotensi.”
Pegawai: “Lah, kenapa bapak bikin pabrik rokok?”
Pemilik: “Rokok itu dibikin hanya untuk orang yang gak bisa baca saja!”
Berdasarkan ilustrasi tersebut, harusnya kita meneladani Pemilik pabrik rokok tersebut. Sebab, satu batang rokok dibakar (dihisap), nyatanya ibarat sebuah “pabrik kimia berjalan” yang mengeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya dan beracun. 1 Maka timbulnya beberapa penyakit akibat dari kebiasaan merokok tidak dapat diragukan lagi. Menurut estimasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), secara global ada sekitar lebih dari satu miliar perokok dengan sebaran 1 dari 2 laki-laki; dan 1 dari 8 perempuan adalah perokok aktif.
Peran SDM Kesehatan dalam menerapkan kawasan tanpa rokok
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Menurut UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/Menkes/PB/I/2011 No. 7/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, dan PP RI No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diartikan sebagai ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. 2
Pelaksanaan kebijakan KTR tidak terlepas dari komitmen kepala daerah. Bentuk komitmen itu terlihat dari kegiatan pemantauan secara rutin serta pemberian sanksi kepada warga yang tidak mengindahkan peraturan tersebut. Sebagai contoh di Kota Padang Panjang, penerapan KTR ini sudah melarang adanya iklan rokok di sepanjang kota. Bahkan pemerintah setempat sudah menunjuk institusi kesehatan dan pendidikan sebagai pelopor dari KTR. Walaupun masih ada warga yang merokok, tapi penerapan KTR ini sudah dapat menurunkan perokok aktif. 3
Mengapa kebijakan kawasan bebas asap rokok tidak berhasil di Indonesia?. Ambil contoh penerapan KTR yang dilakukan di wilayah DKI Jakarta. Smoke Free Agent melakukan surveiterhadap 1.550 gedung di Jakarta. Survei ini mengukur kepatuhan gedung terhadap Pergub No. 75/2005 dengan menggunakan 6 indikator, yaitu tersedianya tempat khusus untuk merokok, bau asap rokok, jumlah asbak, jumlah puntung rokok, jumlah orang sedang merokok, dan keberadaan tanda “dilarang merokok”. Hasilnya 70% dari gedung pemerintah, mal, tempat ibadah, restoran, hotel, tempat bermain anak, hingga sarana olahraga masih penuh dengan asap rokok.4
Berdasarkan indikator itu, tidak ada satu pun gedung di Jakarta yang memiliki tingkat kepatuhan lebih dari 50% terhadap Pergub No. 75/2005. Tingkat kepatuhan lembaga pendidikan terhadap pengaturan kawasan dilarang merokok hanya 47%. Bahkan institusi kesehatan dan gedung-gedung pemerintah yang seharusnya tunduk pada aturan yang dibuatnya sendiri, hanya memiliki tingkat kepatuhan 42%. Pasar dinyatakan sebagai pelanggar tertinggi dengan tingkat kepatuhan hanya sebesar 10%, disusul dengan restoran dan hotel. 4
Menyikapi data itu, tidak berlebihan bila dinyatakan bahwa wacana KTR gagal ditegakkan oleh pemerintah. Lalu, apakah ada hal lain yang bisa dilakukan pemerintah dalam penegakan KTR ?
Peran SDM Kesehatan dalam menerapkan kawasan tanpa rokok
Bila dilihat secara ilmu sosial, perilaku itu merupakan respon yang diberikan seseorang terhadap rangsangan dari luar. Terbentuknya perilaku ini dapat digambarkan dengan pendekatan teori Integrated Model Behavior (IMB). Faktor utama teori ini ialah niat (intention), walaupun niat sendiri bukan faktor satu-satunya yang melatarbelakangi terjadinya perilaku. Namun, perilaku akan terjadi jika adanya keyakinan dari diri seseorang bahwa tindakan yang dilakukan itu memberikan manfaat bagi dirinya. Selain itu, adanya pengetahuan dan keterampilan; tidak adanya lingkungan yang menghambat perilaku; penting tidaknya perilaku itu bagi seseorang; dan pengalaman dalam berperilaku hingga menjadi kebiasaan merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku.5
Teori IMB ini menitikberatkan terbentuknya perilaku pada niat, sehingga model ini memerlukan faktor-faktor yang memunculkan niat berperilaku, seperti: attitude, perceived norm, dan personal agency. Attitude ialah sikap individu terhadap perilaku didapatkan dari reaksi emosional individu terhadap perilaku dan kepercayaan seseorang terhadap dampak atau manfaat dari perilaku yang dilakukan. Perceived norm ialah tekanan yang diterima dari lingkungan sosial untuk melakukan perilaku yang dapat diperoleh melalui kepercayaan normatif terhadap apa yang dipikirkan seseorang, motivasi terhadap perilaku tersebut, dan persepsi tentang apa yang dilakukan oleh lingkungan sosial. Personal agency ialah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengorganisasi dirinya pada suatu perilaku yang diperoleh melalui kepercayaan seseorang terhadap efektfitas dalam melakukan tugas tertentu melalui: kemampuan yang dimiliki (self efficacy); berbagai kontrol yang diterima individu terhadap perilaku saat ini; dan ditentukan oleh kontrol keyakinan (persepsi individu terhadap berbagai macam faktor lingkungan yang dapat mempermudah atau mempersulit perilaku).
Pingback: DAFTAR ARTIKEL KESEHATAN - Inspirasi Sanitarian