Teknologi Pengendalian Banjir
Teknologi pengendalian banjir, mengapa saat ini sangat diperlukan?
“Daerah langganan banjir menjadi lebih luas, ada daerah yang tadinya tidak banjir sekarang mulai merasakan banjir. Di bagian atas, banjir yang besar dengan kekuatan yang tinggi menjadikan aliran air berubah menjadi banjir bandang yang membawa lumpur, batu-batu yang besar dan juga menimbulkan longsor.”
Robert J Kodoatie dan Roestam Sjarief (2005)
In SANITARIAN – BANJIR! Lagi-lagi banjir menyerang sebagian wilayah Indonesia. Masalah banjir, tentu tidak terlepas dari masalah air, musim hujan, dan pengelolaan sumber daya air itu sendiri. Sebab, kalau kita mau jujur sesungguhnya kehidupan alam itu telah memiliki keseimbangan dengan sendirinya, asal saja perilaku hidup manusianya tidak serakah pada alam.
Air adalah bahasa kehidupan. Ia merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam (SDA) yang memiliki karakteristik unik, bila dibandingkan dengan sumber daya lainnya. Air ini bersifat terbarukan dan dinamis. Artinya, keberadaan sumber utama air (hujan) akan selalu datang sesuai dengan musimnya tiap tahun.
Kedua fakta air tersebut, sayangnya banyak diantara kita yang mengabaikan, tidak perduli dan bahkan cuek bebek (baca: tidak memperhitungkan bahaya pada yang lain). Bukti dari sikap seperti itu, kita bisa merasakan kejadian yang akhir-akhir ini terus terjadi di sekitar kita (banjir, longsor dan kekeringan).
Dalam bahasa sederhana, ternyata air juga dapat mengakibatkan bencana. Jumlah air yang terlalu besar di suatu tempat mempunyai kekuatan yang sangat besar dan destruktif, yang disebut banjir. Sebaliknya, kondisi jumlah yang terlalu kecil di suatu lokasi, air juga bisa menimbulkan bencana, yang sering disebut dengan kekeringan.
Terkait dengan masalah ini, menurut Robert J Kodoatie dan Roestam Sjarief (2005), justru yang memprihatinkan adalah kedua bencana tersebut akhir-akhir ini cenderung meningkat. Daerah langganan banjir menjadi lebih luas, ada daerah yang tadinya tidak banjir sekarang mulai merasakan banjir. Di bagian atas, banjir yang besar dengan kekuatan yang tinggi menjadikan aliran air berubah menjadi banjir bandang yang membawa lumpur, batu-batu yang besar dan juga menimbulkan longsor.
Perlu pengelolaan
Adanya bukti nyata dari peningkatan bencana terkait krisis air (baik banjir, longsor dan kekeringan), kalau kita teliti ternyata memiliki korelasi dengan dampak yang terjadi akibat proses pembangunan yang cenderung mengeksploitasi SDA secara membabi-buta.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Menurut A. Sonny Kerap (2001) dalam buku Etika Lingkungan, adalah akibat adanya persepsi yang salah bahwa sumber daya alam dianggap sebagai sumber daya ekonomi yang siap diolah untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan nilai-nilai lain dari kekayaan SDA menyangkut nilai sosial, budaya bahkan nilai kelestarian lingkungan jadi diabaikan dan bahkan tidak diperhitungkan sama sekali demi pembangunan.
Untuk itu, mengingat keberadaan air di suatu tempat dan waktu tidak tetap (bisa bertambah atau berkurang), maka keberadaan air itu harus dikelola dengan bijak melalui pendekatan terpadu dan menyeluruh. Terpadu di sini, menurut Kodoatie dan Sjarief adalah mencerminkan keterikatan dengan berbagai aspek, berbagai pihak (stakeholders) dan berbagai disiplin ilmu. Sedangkan menyeluruh berarti mencerminkan cakupan yang sangat luas (broad coverage), melintasi batas antar sumber daya, antar lokasi, hulu dan hilir, antar kondisi, jenis tata guna lahan, antar banyak aspek dan antar multi disiplin, antar para-pihak.
Dengan kata lain, pengelolaan sumber daya air ini harus dilakukan secara bijaksana. Yakni bersifat integral, menyeluruh, holistik, dan berwawasan lingkungan. Tepatnya, semua aspek, ilmu, dan semua pihak harus terlibat dan diperhitungkan baik langsung maupun tidak langsung.
Penyebab banjir
Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pengendalian banjir, maka semua pihak yang terlibat paling tidak harus mengetahui betul apa-apa sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya banjir di suatu daerah itu.
Secara umum, menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002), banjir dan genangan yang terjadi di suatu lokasi diakibatkan antara lain oleh perubahan tata guna lahan (land-use) di daerah aliran sungai; pembuangan sampah; erosi dan sedimentasi; kawasan kumuh di sepanjang sungai (drainase); perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat; curah hujan; pengaruh fisiografi/ geofisik sungai; kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai; pengaruh air pasang; penurunan tanah dan rob; drainase lahan; bendungan dan bangunan air; serta kerusakan bangunan pengendali banjir.
Dari pernyataan tersebut, sebenarnya dapat kita bedakan menjadi dua penyebab. Pertama, karena sebab-sebab secara alami. Contohnya: erosi dan sedimentasi; curah hujan; pengaruh fisiografi/ geofisik sungai; kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai; pengaruh air pasang; penurunan tanah dan rob; serta drainase lahan.
Kedua, karena tindakan-tindakan manusia. Di antaranya, perubahan tata guna lahan (land-use) di daerah aliran sungai; pembuangan sampah; kawasan kumuh di sepanjang sungai (drainase); perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat; penurunan tanah dan rob; tidak berfungsinya drainase lahan; bendungan dan bangunan air; serta kerusakan bangunan pengendali banjir.
Pengendalian banjir
Pada prinsipnya, ada dua metode teknologi pengendalian banjir, yaitu metode struktur dan metode non-struktur (Kodoatie dan Sjarief; 2005). Namun, saat ini banyak negara maju mengubah pola pengendalian banjir dengan lebih dahulu mengutamakan metode non-struktur, lalu baru menggunakan metode struktur.