Info KesehatanInspirasi SanitarianKesehatan LingkunganPromkesSanitasi MakananSanitasi Tempat Umum

Pentingnya Inspeksi Pangan Berbasis Risiko

Pentingnya inspeksi pangan berbasis risiko dalam pengawasan Tempat Pengelolaan Pangan (TPP). Hal ini didasarkan pada beberapa hal, yaitu: jumlah Sanitarian terbatas, jumlah TPP yang semakin banyak, kebutuhan pengawasan semakin meningkat, tuntutan masyarakat dan konsumen atas jaminan keamanan pangan. Atas dasar inilah pentingnya inspeksi pangan berbasis risiko dilakukan oleh seorang Sanitarian.

Oleh: Arda Dinata

In SANITARIAN – Dalam catatan WHO, paling tidak terdapat lebih dari 200 penyakit yang terjadi akibat bawaan makanan (foodborne disease). Penyakit ini disebabkan konsusmsi pangan yang tercemar oleh mikroba, lalu lewat pangan siap saji itulah agen penyakit tersebut termakan dan masuk dalam tubuh manusia.

Bahkan, belakangan ada yang dinamakan Zoonotic foodborne diseases. Menurut Chlebicz and Śliżewska (2018), zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia, yang merupakan ancaman bagi kesehatan dan kehidupan manusia di seluruh dunia. Menurut perkiraan WHO, pada tahun 2010 saja tercatat 600 juta kasus penyakit yang disebabkan oleh makanan, termasuk hampir 350 juta yang disebabkan oleh bakteri patogen.

Keberadaan hewan (hewan liar, peliharaan, ikan, dan hewan pengerat), seringkali menjadi pembawa patogen tanpa gejala. Mengeluarkannya lewat tinja dan ujungnya mengantarkannya ke lingkungan. Oleh karena itu, patogen dapat menyerang individu baru, serta berada pada sayuran dan buah-buahan.

Lebih jauh, bakteri patogen bisa menebus area produksi makanan dan mungkin tetap ada dalam bentuk biofilm yang menutupi permukaan mesin dan peralatan makan. Menurut Chlebicz and Śliżewska (2018), kemunculan mikroba yang umum dalam produk makanan, serta pemrosesannya yang tidak tepat atau ceroboh, menyebabkan keracunan umum.

Walaupun, munculnya gejala infeksi bawaan makanan itu mungkin ringan, terkadang hanya flu. Tapi, ternyata dapat disertai dengan komplikasi parah, beberapa bahkan bisa berakibat fatal. Apalagi, saat ini semakin banyaknya usaha pangan siap saji yang ada di masyarakat, maka perlu usaha pengawasan higiene sanitasi pangan berbasis risiko. Tepatnya, pentingnya inspeksi pangan berbasis risiko.

BACA JUGA:  Harta Karun dan Terumbu Karang

Langkah Inspeksi Pangan Berbasis Risiko

Pada dasarnya, usaha inspeksi pangan ini dilakukan secara rutin. Artinya, inspeksi pangan berbasis risiko ini dilakukan setelah dilakukan inspeksi rutin sebelumnya. Dalam inspeksi pangan yang dilakukan secara rutin sebelumnya, petugas Sanitarian itu hanya memastikan kalau TPP memenuhi semua persyaratan higiene sanitasi makanan.

Jadi, dalam inspeksi pangan rutin, TPP yang diinspeksi petugas Sanitarian itu tanpa melihat faktor risiko. Selain itu, tidak ada pembeda dalam jumlah dan frekuensi inspeksi TPP dari hasil inspeksi.

Baru, pada tahap inspeksi pangan berbasis risiko petugas Sanitarian melaksanakan inspeksi berdasarkan tingkat risiko TPP. Tingkat risiko TPP ini dapat menentukan frekuensi pengawasan terhadap TTP tersebut. Hasil dari inspeksi inilah akan keluar kategori risiko TPP tinggi, sedang dan rendah.

Adapun, tahapan dalam proses penentuan skor dalam inspeksi pangan berbasis risiko, meliputi:

  • Menentukan risiko pangan dengan menjumlahkan skor penilaian profil pangan dan mitigasi bahaya pangan.
  • Menentukan skor risiko bisnis dengan menjumlahkan skor penilaian ukuran bisnis dan riwayat ketidaksesuaian.
  • Menetukan skor total risiko TPP dengan menjumlahkan skor risiko pangan dan risiko bisnis.

Adanya inspeksi pangan berbasis risiko ini diharapkan dapat memberi kesadaran kepada pemilik TPP tentang pentingnya skor penilaian yang baik, sehingga memberikan jaminan keamanan pangan bagi konsumen. Untuk itu, di sini terlihat pentingnya inspeksi pangan berbasis risiko.

Kenali Risiko Pangan

Bagi seorang Sanitarian, tentu sangat penting mengenal risiko pangan. Artinya, dalam inspeksi pangan berbasis risiko, petugas perlu mengatahui berbagai kondisi yang membuat pangan mudah terkontaminasi mikrorganisme dan bahan kimia berbahaya yang dapat menyebabkan penyakit.

pentingnya inspeksi pangan berbasisi risiko

Dalam buku saku pengawasan higiene sanitasi pangan berbasis risiko (Tutut Indra Wahyuni, SKM et al., 2021), dituliskan cara mementukan risiko pangan digunakan sebuah konsep yang disebut: FATTOM. FATTOM merupakan singkatan dari Food (pangan), Acidity (derajat keasaman), Temperature (suhu), Time (waktu), Oxygen (oksigen), dan Moisture (aktivitas air/kelembaban).

BACA JUGA:  Uraian Kegiatan Jenjang Tenaga Sanitasi Lingkungan Ahli Utama

Pertama, Food (pangan).

Pangan yang berpotensi berbahaya atau Potentially Hazardous Food (PHF) adalah jenis pangan yang memiliki potensi lebih tinggi untuk pertumbuhan mikroorganisme penyebab penyakit.  Pangan PHF ini, umumnya mengandung protein dan karbohidrat tinggi yang cenderung mendukung pertumbuhan bakteri. Sebaliknya, bakteri tidak menyukai pangan dengan kandungan gula tinggi, seperti dodol dan permen.

Ada tiga kategori pangan yang berpontensi berbahaya itu, yaitu:

  • Pangan dengan kandungan protein tinggi, seperti produk pangan hewani segar dan olahannya;
  • Pangan berasal dari tumbuhan yang diberi perlakuan panas, seperti sayur cap cay, kentang panggang, dan nasi;
  • Pangan lainnya, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yang sudah dipotong, dan produk olahan kedelai seperti tahu.

Kedua, Acidity (derajat keasaman). Skala derajat keasaman (pH) berada antara 0-14 dan pH 7 merupakan pH netral. Sementara itu, bakteri tumbuh baik pada kisaran pH 4,6-7,5 dan pertumbuhan bakteri akan terhambat pada pH <4,6.

Ketiga, Temperature (suhu). Terkait suhu ini, peningkatan pertumbuhan bakteri maksimal terjadi pada suhu antara 5-60 derajat C, sehingga disebut sebagai danger zone (zona bahaya).

Jika kondisi pangan pada kisaran tersebut, maka bakteri patogen dalam pangan akan berkembang dengan sangat cepat. Akibatnya, kemungkinan besar akan menyebabkan penyakit bawaan pangan.

Keempat, Time (waktu). Terkait waktu ini, tidak lain adalah untuk pangan yang berpotensi bahaya (PHF), maka sebaiknya dikonsumsi maksimal 4 jam setelah pangan matang. Apabila, akan dikonsumsi kembali, maka pangan harus dipanaskan kembali dalam suhu minimal 75 derajat C.

Kelima, Oxygen (oksigen). Kebanyakan bakteri patogen membutuhkan oksigen untuk tumbuh dan berkembang biak. Salah satu teknik pangan yang terbukti dapat mengurangi kadar oksigen dalam kemasan adalah teknik vakum (hampa udara). Pada konteks ini, pangan yang disajikan secara terbuka lebih memiliki risiko untuk berkembang biaknya bakteri patogen.

BACA JUGA:  Wabah Cacar Monyet

Keenam, Moisture (aktivitas air/kelembaban). Pangan itu memiliki kandungan air bebas dan aktivitas air. Skala aktivitas air (aW) berada pada kisaran 0-1.

Semakin tinggi aW, maka kemungkinan bakteri patogen berkembang biak dan menyebabkan penyakit akan semakin tinggi. Bakteri umumnya berkembang biak pada pangan yang memiliki aW > 0,85.

Arda Dinata

*Arda Dinata, adalah kolomnis tetap di Sanitarian Indonesia (https://insanitarian.com). Aktivitas hariannya sebagai peneliti, sanitarian, dan penanggungjawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, tinggal di Pangandaran.

One thought on “Pentingnya Inspeksi Pangan Berbasis Risiko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: